Selasa, 16 Desember 2008

Puisi-puisi Agus Trianto 2008


SATU POHON SATU KEHIDUPAN
Betapa angkuhnya kita yang mencabut sebatang pohon kecil yang baru tumbuh di tengah hutan. Kita telah melenyapkan satu kehidupan mahluk Tuhan yang kelak bermanfaat bagi kehidupan. Cobalah buat pohon sejenis yang dicabut itu. Niscaya tak seorangpun mampu. Kita sering enggan menjadi tangan Tuhan yang gembira menanam dan menumbuhkan. Alih-alih menjadi kaki tangan iblis yang sangat birahi merusak. Kehidupan untuk kehidupan. Kematian untuk kematian. Hukum Tuhan di alam semesta sangat nyata. Hanya cinta yang mampu membuka kebutaan akan kasih-sayang-Nya di hijau terbentang.


DOA 1
Sudah berabad-abad kita memaknai why do i roam when i know You are the One. Tapi kita rajin mengulangi ketololan ahasveros.
Ampuni kami yang bebal dan cahayakan kami. Amin.


DOA 2
Betapa debunya perangaiku Mak
Aku ingin tidur lelap di bawah kakimu


DOA 3
Aku terus belajar memahamimu
Paling tidak kau tidak marah lagi padaku
Senangnya kau tersenyum


DOA 4
Bekerja dan bekerja
Atas namaNya dan sampai padaNya
Cuma itu anakku


BERDIRI DI ATAS GUNUNG KEPAHYANG-CURUP
Memandang kabut di sela-sela bukit,
kehijauan dan sejuk yang menyergap
Aku rindu pantai bengkulu yang mengintip diujung cakrawala
Menghampar jarak keindahan dan kengerian
Aku ingin turun tapi kuasa goda begitu meninabobokan
Ah sudahlah, aku kan sedang melangkah.



Senin, 08 Desember 2008

BERHENTILAH MENJADI GELAS, JADILAH DANAU

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Tuhan, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah."

Si murid terdiam, mendengarkan.

"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."
(dj.hand.IndoMp3z)


MANA LEBIH PRIORITAS, BERMUTU ATAU SEJAHTERA?

Dalam melaksanakan tugas, sebagai guru misalnya, kita sering dihadapkan pada dua opsi yang sebenarnya bukan untuk dipilih mana yang menjadi syarat dan akibat. “Saya mau dan bisa bermutu kalau sudah sejahtera”, kata seorang guru. “Tidak mungkin kita bisa menjadi guru yang bermutu kalau hidup kita belum sejahtera”, tambahnya.

Sepertinya pernyataan ini benar. Namun kalau kita renungkan, bermutu dan sejahtera adalah dua kondisi seperti pada mata uang yang saling berkaitan erat. Mengapa demikian? Orang-orang bermutu pada umumnya hidup sejahtera, orang yang merasa sejahtera akan menjalani hidup yang bermutu. “Jadi betul kan kalau kita dituntut bermutu harus diberi kesejahteraan lebih dahulu?” Jawabannya, Ya. Masalahnya adalah pada perbedaan pandangan akan konsep sejahtera. Sejahtera itu bisa dianggap abstrak tapi sekaligus juga sangat konkret. Kita ambil saja ukuran umum dan konkret. Sejahtera itu jika seorang guru di sekolah dasar di suatu sudut kota memiliki “harta” dua milyar rupiah. Adakah?

Ada, bahkan hampir semua guru memilikinya. Kita sering tidak menyadari bahwa kita membawa harta milyaran rupiah setiap hari yang tidak mudah dicuri orang. Kita memiliki dua mata yang tidak akan kita lepaskan meski ada yang menawar mata kita dengan harga 200juta, dua telinga, tangan, kaki, jantung, ginjal, paru-paru, dan semua anugrah Tuhan yang tak ternilai yang kita bawa setiap saat, yang jika dijumlahkan harganya jauh lebih dari dua milyar rupiah.

Intinya, kita sudah sejahtera. Kita tinggal menggunakan modal kesejahteraan anugrah Tuhan itu untuk menjadi mahluk yang bermutu. Jika kita tidak mau atau bisa bermutu, itu bukan karena kita belum sejahtera. Itu karena kita enggan dan malas menggunakan semua potensi kita. Bahasa yang lebih tegas, kita tidak bersyukur atas anugrah Tuhan kepada kita. Kita hidup seolah-olah kita tidak memiliki mata untuk melihat hamparan ilmu, kita tidak memiliki telinga untuk mendengar kebaikan dan kebenaran, kita tidak memiliki tangan untuk bekerja keras, kita tidak memiliki otak yang maha dahsyat.

Maka, bersyukurlah dengan cara bekerja keras dan bermutu. Niscaya Tuhan akan menambah nikmat dan anugrah-Nya. Orang bermutu akan dihargai masyarakat, dan kesejahteraan lain mengikutinya.

Rabu, 26 November 2008

Salah Kaprah KTSP


Agus Trianto


Pemerintah sebetulnya tidak membuat kurikulum sekolah sekarang. Jaman sebelum "KTSP", pemerintah dikritik karena bersifat sentralistik dalam penentuan kurikulum. Wamena itu tidak sama dengan Jakarta, dalihnya.


Sekarang, setiap satuan pendidikan dibebaskan untuk menyusun kurikulum yang dianggap cocok dengan potensi dan kondisi nyata. Namun, banyak yang belum memanfaatkan peluang ini. Alih-alih malah kembali sentralistik, menggunakan STANDAR ISI sebagai KTSP. Dibolehkan memang, karena itu adalah standar minimal yang harus dicapai semua satuan pendidikan. Cuma agak aneh kalo sekolah mahal di Jakarta mengembangkan KTSP yang sama dengan sekolah yang ada di wilayah terpencil dan terbelakang.


Bagaimana sebaiknya? SI harus dikembangkan menjadi KTSP. Seperti yang sedang saya kembangkan di SMPN 53 Cilincing, Jakarta Utara dengan "Pengembangan KTSP SMPN 53 Berbasis Pesisir dan Kelautan". Pesisir dan kelautan bukan dikembangkan menjadi satu mata pelajaran muatan lokal namun menjadi karakter utama semua mata pelajaran.


Pengembangan ini masih terus berlangsung. Sementara ini kami dibantu oleh Angkatan Laut Republik Indonesia. Semoga pihak Dinas Diknas terkait mendukung sepenuhnya. Amin.

Jumat, 15 Agustus 2008

KURIKULUM ISLAM TOTAL (KAFFAH)

Agus Trianto

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (An-Nisaa’:9).

Kurikulum Islam Total dirancang sebagai upaya menjadi qaulan sadiida untuk menjadikan generasi penerus yang bertaqwa kepada Allah secara total dan komprehensif. Peradaban dan kebudayaan Islam memiliki beberapa keungulan, yaitu : (1) mencakup makna dan nilai dasar serta keindahan peradaban; (2) mengajarkan agar kita selalu mengambil pelajaran dari alam sebagai suatu sistem ciptaan Allah yang maha sempurna; (3) memandang segala sesuatu atau peristiwa sebagai tanda kebesaran Allah; (4) manusia sebagai mahluk memaknakan dirinya sebagai orang yang mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kepada sang Pencipta; (5) akal pikiran manusia memiliki kebebasan namun tetap tunduk kepada Risalah Ilahiyah sebagai nurun ’ala nurin, cahaya atas cahaya.

Yang dimaksud dengan peradaban Islam adalah keseluruhan manifestasi kehidupan umat Islam yang bertolak dari aqidahnya menurut agama Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam wujudnya yang minimal, peradaban Islam merupakan kehidupan umat yang ”membaca dengan nama Allah” (QS.al-Alaq:1-5); dan dalam wujudnya yang maksimal merupakan manifestasi kehidupan umat yang ”menyempurnakan keberagaman Islam” (QS. Al-Maidah: 5-3). Jadi, membangun peradaban Islam adalah meningkatkan mutu untuk mencapai kesempurnaan kehidupan beragama Islam dalam segala bidang kehidupan secara utuh.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, Maka Ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Al-Baqarah: 208-209).

Dengan demikian maka pengertian kurikulum dalam hal ini adalah segala sesuatu yang direncanakan untuk mencapai terwujudnya generasi Islam yang memiliki peradaban Islam bermutu dalam segala bidang kehidupan untuk rahmatan lil alamin sebagaimana amanah yang harus dipikul oleh umat manusia dan sebagai khalifah di alam semesta.


Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (Al-Ahzab:72)




DASAR IMPLEMENTASI KURIKULUM
Islam, Alam, Sains

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Al-Fushilat:53).

Ayat di atas merupakan dasar pengembangan karakter kurikulum, yaitu Islam, Alam, dan Sains. Peradaban dan kebudayaan Barat lebih unggul dalam mempelajari ”tanda-tanda” dan melupakan pemberi tanda. Sebaliknya, sebagian umat Islam kini melupakan mengkaji ”tanda-tanda” kekuasaan Allah di muka bumi. Generasi Islam mendatang diharapkan adalah manusia yang serius mempelajari ”tanda-tanda” kekusaan Allah dalam rangka lebih meyakini kebenaran Al-Quran. Penguasaan pengetahuan tentang ”tanda-tanda kekuasaan Allah” akan menjadikan generasi Islam menjadi generasi unggul di muka bumi.

Implementasi konsep Islam, Alam, dan Sains dalam kurikulum Islam Total adalah sebagai berikut:
ISLAM. Semua bidang studi dan mata pelajaran adalah penjabaran konsep Islam. Hal ini berarti setiap guru adalah guru Islam. Guru sains, matematika, atau bahasa misalnya adalah guru yang mengajarkan ke-Islam-an melalui sains, matematika, atau bahasa.
ALAM. Kehidupan manusia, mahluk hidup lainnya dan alam semesta merupakan laboratorium untuk lebih memahami dan menguasai pengetahuan tentang ”tanda-tanda” kekuasaan Allah. Alam di sini berfungsi sebagai sumber belajar.
SAINS. Sains adalah semua pengetahuan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah di jagat raya semesta ini.

Alam adalah objek pengetahuan; sains adalah metodologi pengetahuan. Keduanya tak terpisahkan agar pengetahuan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan luhur, menjadi rahmat bagi seluruh alam dan lebih meningkatkan ketaqwaan. Kejayaan Islam sangat ditentukan oleh keberhasilan penguasaan pengetahuan ini.

Tujuan dari konsep ini adalah generasi Islam memiliki ahlak mulia terhadap diri sendiri, orang lain, dan terhadap alam semesta. Oleh karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi umat manusia lainnya; dan sebaik-baik di antaramu adalah yang mempelajari al-Quran dan mengajarkannya khairukum man ta’allamal qur’an wa ’allamahu (HR Utsman dan Ali).
BAGAIMANA MENERAPKANNYA DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN (SD-SMP-SMA)? Saya siap berdiskusi dan urun rembug secara langsung karena tidak mungkin dapat dijabarkan dalam blog ini. Kami melayani khusus bagi yang serius. Dapat juga kontak The Education Development Center Indonesia di Jl. Raya Bogor Km. 28 Pekayon-Lapan Pasar Rebo Jakarta Timur 13710 Telp.021-8711833 Fax. 021-8705582; attn Sdr. Prima Remolda.

FEMINISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Agus Trianto

Our problem today is not that men and women are unequal, but that there are hardly any true men or true women left in the world” (Murata, 1992)


Berbicara tentang feminisme pasti menyangkut gender. Berbicara tentang gender adalah berbicara tentang laki-laki dan perempuan. Saya agak sungkan berbicara tentang feminisme semata, seakan saya berpihak pada satu gender. Keberpihakan semacam ini akan menelurkan perdebatan yang menyebalkan. Menyebalkan karena menghasilkan dikotomi eksklusif, bukan mitra tapi oposan, bukan kawan tapi lawan. Padahal laki-laki dan wanita harus bersatu, bersama mengarungi hidup lebih bermakna dalam hubungan interdepedensi yang harmonis. Untuk itu lah saya kiranya berbicara bukan dalam konsep feminisme semata dalam pengertian gender, fisik tetapi konsep yang lebih berkarakter, bukan soal gender tapi mutu manusia.

Feminisme dalam perspektif Islam adalah pengaturan hak dan kewajiban wanita sesuai dengan fiqh perempuan yang bersumber kepada Al Quran dan hadits, “..kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan Rasul-Nya (Hadits)” (QS an-Nisaa: 59). Jika ingin membuat ijtihad, penafsiran baru dasar pijakannya tetap Quran dan Hadits, serta lebih berupaya memahami dan menghindari keberpihakan. Dalam konteks ini, saya akan mencoba mengurai konsep feminisme dan maskulinisme berdasarkan kajian kosmologi dan teologi Islam (Murata, 1992; Megawangi, 1999).

Sosok Ideal Insan Kamil
Pembedaan antara laki-laki dan perempuan sangat jelas ditujukan untuk kehidupan bermasyarakat dalam tataran sosial (tataran fisik), bukan tataran batin. Tidakkah laki-laki itu sama dengan perempuan (Ali Imran: 35) dalam tataran batin. Persamaan derajat di mata Tuhan pria dan wanita sama, yaitu inna akromakum indallahi atqookum (Al Hujuraat:13). “Barang siapa beramal saleh, apakah laki-laki atau perempuan, dan ia beriman, maka niscaya akan Kami hidupkan ia dengan kehidupan yang sangat baik (Al-Nahl:97). Penjelasan secara kosmologis dan teologis adalah sebagai berikut.

Di alam ini terdapat keseimbangan yang terdiri dari maskulin dan feminin, yin dan yang dalam kosmologi Cina. Di dalam filsafat teologi Islam dikenal dualitas--Dan segala-galanya Kami ciptakan serba berpasangan agar kamu dapat merenungkan kekuasaan Kami (Adz-Dzaariyaat:49); “Dia menciptakan pasangan, pria dan wanita” (An-Najm:45)--jalal dan jamal (Keagungan/Keindahan); Lutft/Qahr (Kelembutan/Kekerasan; Rahma/Ghadab (Pengasih/ Kemurkaan); termasuk ciptaan-Nya: langit/bumi, atas/bawah, raja/abdi, cahaya/gelap, feminin/maskulin, dan patriarkat/matriarkat. Dualitas ini selalu ada baik dalam tataran Ilahiah, kosmos, maupun tataran manusia yang semuanya menuntut keseimbangan. Tuhan adalah keseimbangan antara nama-namanya yang Jalal (patriarkat) dan Jamal (matriarkat). Konsep keseimbangan dalam Islam melahirkan kamal, insan kamil, insan sempurna. Artinya, pada diri gender baik dia laki-laki maupun perempuan memiliki kedua sifat itu: yin dan yang, jalal dan jamal, maskulin dan feminin.
Sosok perempuan ideal adalah sosok insan kamil, yakni yang bisa menyatukan sisi jamal dan jalal. Insan kamil itu tujuan hidup di dunia. Dalam buku The Tao of Islam karya Sachiko Murata, dikatakan bagaimana wanita itu menjadi wanita feminin positif yang merendahkan diri di hadapan Tuhan. Manusia (laki-laki dan perempuan) mempunyai sifat maskulin negatif dan feminin negatif. Maskulin negatif, kalau sudah berkuasa akan menindas serta sifat-sifat lain seperti syirik, ingin menyamai Tuhan. Sedangkan feminin negatif apabila seseorang tidak mampu melawan nafsu-nafsu rendah. Feminin itu pasif, bisikan apa saja akan dituruti.

Supaya menjadi feminin positif maka berserah diri lah kepada Tuhan. Itu secara batin, spiritual. sedangkan dalam struktur kemasyarakatan seseorang itu bisa tawakal dan merendahkan diri apabila ada sistem yang memiliki hierarkis. Kalau semuanya sejajar (equal) maka ia merendah kepada siapa? Jadi sistem hirarkis itu harus ada, dan kenyataannya memang begitu. Tuhan menciptakan itu dengan maksud agar manusia saling berkasih sayang. Kasih sayang harus diberikan karena rahmat Allah turun mendahului murka-Nya. Karena ia menjadi abdi dahulu baru menjadi wakil (khalifah) Tuhan.

Kalau anak menjadi feminin positif akan hormat kepada orang tuanya, istri menjadi feminin positif akan menghormati suaminya , laki-laki juga menjadi feminin positif tentu mereka akan hormat kepada atasannya; semuanya akan menghormati yang maha, Tuhan. Dengan feminin positif kita dapat bersikap kasih kepada orang miskin.

Di samping itu ada pula sifat maskulin positif. Sifat ini merupakan tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia laki-laki dan perempuan. Wanita yang mencapai maskulin positif jika sebagai ibu akan menjadi pimpinan bagi anak-anaknya serta mencurahkan kasih sayang dan arahan yang baik kepada anak-anaknya. Dan si laki-laki pun melindungi istri dan anak-anaknya. Jadi, maskulin postif itu bukan bersifat menindas, tetapi mengayomi sehingga terjadilah keseimbangan antara antara feminin positif dan maskulin positif, dan terjadi lah keharmonisan dan mencapai kamal (kesempurnaan).

Untuk mencapai kualitas kamal tertinggi, menurut Murata, manusia pertama kali harus mentransformasikann dirinya sebagai yin/jamal/feminin positif, yaitu kualitas yang mengakui dirinya rendah, tidak berlaku sombong, dan tidak pernah meninggikan dirinya. Ini berarti seseorang mengakui ada yang lebih tinggi di luar dirinya, mengakui adanya unsur patriarkis atau hirarkis dalam kehidupan. Jadi sifat yang/jalal/maskulin Tuhan dapat terinternalisasi pada manusia kalau manusia telah menjadi hamba (yin/jamal/feminin positif). Setelah menjadi yin positif, manusia akan berjuang untuk mengalahkan nafsu-nafsu negatifnya (menjadi penguasa yang mengontrol nafsu-nafsu rendahnya). Dan ini adalah awal dari diraihnya sifat yang positif, yaitu sifat manusia yang telah mencapai nafsu mutma’innah. “Hai jiwa yang mutma’innah. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Al-Fajr:27-30).

Penafsiran seperti di atas dapat menerangkan pula mengapa banyak kaum wanita juga dapat berperilaku maskulin negatif, yaitu suka menindas, sombong, melakukan kekerasan. Persaingan dan intrik yang dilakukan wanita sama culasnya dengan apa yang dilakukan kaum pria. Banyak anak yang disiksa atau ditelantarkan oleh para wanita (ibunya sendiri), atau para pria yang dianiaya (terutama aspek emosional; ingat olok-olok pria anggota “ISTI”) oleh istrinya, atau pembantu rumah tangga yang disiksa oleh nyonya rumah. Hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori feminisme lainnya yang hanya terpaku pada aspek eksternal gender (lahiriah) saja.

Pengertian patriarkat/maskulin positif sebagai kualitas yang harus diraih oleh seluruh manusia, diperkuat oleh seorang guru sufi kontemporer Bawa Muhaiyaddeen (1997): “sebagian besar manusia di dunia ini adalah “wanita” (dalam pengertian batin, yin/feminin negatif), dan hanya sedikit “pria”, karenanya yang banyak masuk neraka adalah “wanita”. Untuk mencapai surga, para “wanita” ini harus mentransformasikan dirinya menjadi “pria”, yaitu manusia sejati yang telah bertemu Tuhannya. Ini juga dapat menerangkan hadits Rasulullah yang dianggap sahih, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpin mereka”. Juga akan memahami jika kaum laki-laki menjadi qawwam (pemimpin; pelindung dan pembimbing) atas kaum perempuan (An Nisaa: 34).
Feminisme Radikal sebagai Perbandingan
Hampir setengah abad lalu, Simone de Beauvior—filsuf eksistensialis wanita, kawan kumpul kebo Jean Paul Sartre sang pangeran filsafat eksistensialis—menulis buku Le Deuxieme Sex (The Second Sex de Beauvoir) yang menjadi inspirasi kaum feminis radikal untuk membuang lembaga perkawinan dan memperjuangkan kebebasan seksual. Buku ini juga menganjurkan wanita untuk tidak kawin jika ingin maju dalam karirnya.

Aliran feminisme radikal memang cenderung antikeluarga karena keluarga yang umumnya bersistem patriarki dianggap sebagai sarana penindas dan pembelenggu wanita. “The most oppresioned people in this world is mother”, kata kaum feminis. Mereka membuat opini, seorang ibu yang mengerjakan pekerjaan rumah saja adalah kelompok yang ditindas, pekerjaan hina. Mereka menyarankan mennggalkan pekerjaan itu dan mencari pekerjaan di luar rumah, bersaing dengan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Wanita sebagai ibu diremehkan, dan ini melanggar sunatullah.

Yusuf Qardlawi dalam bukunya Islam wa Khadaratul Ghad (Islam Peradaban Masa Depan) melihat betapa tuntutan kaum feminisme bagi terwujudnya “persamaan hak antara pria dan wanita” berujung pada kondisi yang menyedihkan. Di negara-negara Skandinavia yang telah “sukses” meruntuhkan struktur patriarki yang menjadi basis dari institusi keluarga konvensional—sesuai dengan cita-cita feminisme radikal—terjadi angka perkawinan yang rendah, frekuensi kumpul kebo tinggi; perpecahan keluarga, anak dilahirkan dari luar perkawinan, angka keluarga single parent (OT Tunggal), dan angka perempuan yang bekerja semuanya tinggi. Selain itu timbul tuduhan bahwa feminisme telah merusak keluarga, sebab secara teori feminisme modern adalah anti keluarga. Antara 1963 dan 1975 angka perceraian di AS telah melonjak sebesar 100% (Megawangi, 1996). Sejak 1950 jumlah anak yang lahir dari pasangan kumpul kebo melonjak nyaris 400%; dan hampir sepertiga anak yang dilahirkan orang kulit putih lahir di luar nikah; lebih dari setengah bayi kulit hitam juga lahir di luar nikah (Time, 9/11/81). Feminisme berangkat dari peradaban materialisme maka ukuran kesuksesan seorang wanita juga berbeda. Tingkat kesuksesan eksistensi wanita diukur dari kekuasaan (power) yang dikendalikannya, materi atau uang yang dihasilkan dari pekerjaannnya, dan juga ketenaran (fame) yang dimilikinya. Ini adalah peradaban materialistik yang bersifat maskulin.

Di alam ini terdapat keseimbangan yang terdiri dari maskulin dan feminin, yin dan yang. Di dalam Islam istilahnya jalal dan jamal. Konsep keseimbangan dalam Islam melahirkan kamal, insan kamil, insan sempurna. Namun bagi kaum feminis, yang jalal, maskulin atau kekuasaan itu yang lebih kerap jadi orientasi dirinya. Wanita akhirnya juga terperangkap pada sistem yang demikian. Dia baru merasakan eksistensi dirinya kalau sudah masuk ke dunia publik, dunia maskulin. Dia dapat uang, dapat karir, dan dapat segala macam. Nah, yang bukan materi. seperti kasih sayang dianggap sikap yang aneh, yang tidak menunjang keberhasilan dunia maskulin. Akhirnya hal nonmateri itu dianggap kecil artinya. Ini merupakan masalah manusia, bukan masalah wanita saja.

Sekarang para wanita—juga para “feminis muslimah”—mulai masuk kedunia maskulin dengan cara teologi feminisme yang ingin merombak semua penafsiran fiqh perempuan. Fiqh perempuan dinilai melanggengkan sistem bahwa perempuan itu harus di rumah, harus jadi ibu, harus jadi pengasuh yang lemah, harus dilindungi, penuh kasih sayang dan penuh pengorbanan.
Sehingga timbullah gerakan atau teologi feminis yang ingin mengubah semua penafsiran itu menjadi seolah-olah Quran atau Islam itu bukan begitu pengertiannya. Kesetaraan yang mereka inginkan adalah kesetaraan aspek maskulin atau materialistik. Akibatnya yang terjadi adalah ketidakseimbangan. Tubuh yang tidak seimbang akan sakit, demikian juga masyarakat yang tidak seimbang akan sakit.

Susan Gordon dalam The Prisoner of Men’s Dream merasa dikhianati kaum feminis. Ia menjadi aktivis feminis karena percaya akan slogan feminisme bahwa masuknya wanita ke dunia maskulin (men’s world) dapat mengubah dunia menjadi lebih damai. Ternyata yang ia dapatkan keadaan dunia makin rusak, karena wanita telah masuk ke dalam perangkap sistem patriarkis dan menjadi sekedar male-clone (Megawangi, 1996). Mengambil alih kekuasaan tiran dengan cara menjadi tiran baru. Sejalan dengan ini maka muncullah gerakan ekofeminisme yang mengajak para perempuan untuk bangkit melestarikan kualitas feminin agar dominasi sistem maskulin dapat diimbangi, sehingga kerusakan alam, dekadensi moral yang semakin mengkhawatirkan dapat dikurangi. Di samping itu muncul pula gerakan kaum wanita yang menandingi gerakan feminisme egalitis yang mengingkan dipertahankannya nilai-nilai keluarga. Dengan kata lain, wanita tidak dapat diperlakukan sama dengan pria (kecuali untuk wanita yang hidup sendiri dan tidak memiliki anak), jika disamakan maka akan ada “ongkos” sosial yang harus dibayar yaitu runtuhnya tatanan nilai keluarga dan runtuhnya masa depan bangsa (Megawangi, 1999). Gerakan tersebut misalnya New Right Movement, Feminin-Anti Feminist League, The League of Housewives, The National Pro-Familiy Coalition.

Pengakhiran
Dalam beragama kita diajar pertama kali mengenal kewajiban. Jika kita berbicara tentang kewajiban maka otomatis mencakup pula tentang hak. Kewajiban suami terkait dengan hak istri; kewajiban istri terkait dengan hak suami; kewajiban orang tua terkait dengan hak anak; kewajiban anak terkait dengan hak orang tua; kewajiban keluarga terkait dengan hak masyarakat; kewajiban masyarakat terkait dengan hak keluarga; demikian seterusnya. Pemenuhan kewajiban akan menyebabkan terpenuhinya hak-hak individu dan masyarakat. Ini terkait pula dengan ajaran agama “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Kewajiban adalah praktik tangan di atas, memberi. Memberi dalam Islam harus dengan ikhlas. “Laksanakan kewajibanmu, dan mintalah kepada Allah yang kamu perlukan” (HR Bukhari dari Ibnu Mas’ud). Bayangkan jika setiap orang hanya berpikir untuk bagaimana memberi yang terbaik.

Budi munawar Rahman, seorang feminis, mencoba menafsir ulang tafsir-tafsir Al Quran “kuno” yang dianggap male-biased dalam bukunya Persfektif Gender berkomentar sinis, “Selalu saja secara klasik di kitab-kitab lama dibahas stereotype: keluarga sebagai pemerintahan terkecil adalah unsur penyangga keluarga besar yakni masyarakat dan stabilitas keluarga menentukan stabilitas masyarakat.

Padahal sebagai muslim terhadap Quran kita tidak boleh gampang curiga, meski tetap menjaga sikap kritis dan kreatif. Sikap kritis dan kreatif ini untuk menggali kebenarannya dan bukan sebaliknya mempertanyakan kebenarannya. Sebab tidak mungkin ajaran Islam disusupi ajaran yang bathil, salah dan sesat. Al Quran terbebaskan dari segala penyusupan. “Dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak dihinggapi kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS Fush-shilat: 42). Kata “dari depan” ini menyiratkan pandangan sangat jauh ke depan yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh manusia jaman kini, apalagi Allah itu sendiri “penguasa hari kemudian” (QS Fatihah:4). Kata “dari belakang” menyiratkan suatu refleksi sejarah hidup manusia yang sebenarnya, bukan manipulasi.

Semoga Allah selalu menunjuki kita jalan yang lurus dan diridlai-Nya. Amin.

RUJUKAN
Al Quran dan terjemahannya. Depertemen Agama RI.

Gordon, Suzazane. 1991. Prisoners of Mens’ Dreams: Striking Out for A New Feminine Future.
Boston: Little Brown & Co.

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Jakarta: Mizan

Muhaiyaddeen, Bawa. 1977. To Die Before Death. Philadelphia: Fellowship Press.

Murata, Sachiko. 1992. The Tao of Islam. New York: SUNY Press.

Republika, “Majikan Penganiaya Lima PRT Ditangkap”, 30 Oktober 1997.

Time, 9 November 1991.
(Disampaikan pada Kajian Kritis Muslimah “Feminisme dalam Perspektif Islam”, UKM Rohis UNIB tanggal 1 Juni 2000)

Kamis, 14 Agustus 2008

Kita Sedang Dijajah Koruptor

Bulan Agustus 2008 ini layak dijadikan bulan “perang melawan koruptor”. Para koruptor itu bak penjajah. Mereka ada di mana-mana, dari pejabat tinggi hingga pejabat rendahan, dari yang kaya hingga yang miskin, bahkan pelaku swasta juga melakukannya. Indikasinya, jika kita mengurus sesuatu akan lama dan membutuhkan biaya “tambahan” dari yang telah digariskan; jika kita berhubungan dengan sesuatu, kita dirugikan. Misalnya, di kalangan masyarakat bawah yang menggunakan jasa transportasi di terminal (resmi atau bayangan) akan dipungut dana tambahan untuk para preman yang menyebut dirinya “agen”; pedagang kaki lima akan mengeluarkan biaya tambahan uang keamanan, akibatnya mereka menaikkan harga sehingga harga di eceran masyarakat bawah jadi mahal juga. Terkadang belanja di supermarket lebih murah dari pedagang kakilima. Belum lagi jika biaya impor, perijinan, dan lain-lain yang berurusan dengan pejabat negara juga banyak memerlukan biaya tambahan. Korban terakhir adalah rakyat. Sebagaimana kaum penjajah, cenderung menyiksa rakyat dan suka memanjakan keluarga penguasa. Koruptor adalah penjajah yang menghilangkan kesempatan jutaan rakyat untuk mengubah dirinya menjadi lebih baik. Koruptor adalah penjajah yang merampok uang rakyat. Koruptor adalah penjajah yang membunuh rakyat secara perlahan namun pasti. Penjahan harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia tercinta ini. Penjajahan bertentangan dengan konstitusi manapun di dunia. Mari kita angkat senjata untuk melawan penjajahan dan penindasan dalam bentuk apapun.

Karya Penelitian Agus Trianto

· Evaluasi Program Paket-B setara SLTP di Propinsi Bengkulu, Dikmas-Depdikbud; 1995, Proyek PPLS Dikmas, Depdibud Bengkulu.
· Persepsi Masyarakat Rejang terhadap Eksistensi Kutai, 1996, SPP/DPP UNIB.
· Kajian Bandingan Gradasi Kesantunan Ujaran Direktif Bahasa Indonesia dan Bahasa Lembak, 1997, OPF UNIB.
· Pengaruh Strategi Pengajaran dan Tipe Kepribadian terhadap kemampuan Mengarang, 1998, Peneliti Muda, Binlitabmas, DIKTI.
· Perspektif Lingkungan Hidup dalam Cerita Rakyat Bengkulu: Kajian Semiotik, 1999, Mandiri.
· Latihan Mengarang dengan Pendekatan Pola Retorika di SMP 1 Kota Bengkulu, 2000, Proyek PGSM-DIKTI.
· Analisis Retorika Humor Mahasiswa, 2001, BBI-Binlitabmas DIKTI
· Retorika Tulisan Kolom, 2002, BBI-Binlitabmas DIKTI.
· Analisis Pemarkah Seks Wanita Indonesia (Studi Retorika, Diksi, dan Isi dalam Pertuturan), Kajian Wanita, 2002
· Telaah Sarkasme Judul Berita Koran, 2003, BBI-Binlitabmas DIKTI.
· Pengembangan Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi Berdasarkan Pendekatan Komunikatif dan Meaningful Learning yang Berperspektif Multikultural, 2006-2007, Hibah Bersaing Binlitabmas DIKTI.


ABSTRAK

PENGARUH STRATEGI PENGAJARAN DAN TIPE KEPRIBADIAN
TERHADAP KEMAMPUAN MENGARANG SISWA SMP DI KODYA BENGKULU
(The Influence of Teaching Strategy and Personality Type on junior High School Students’ Writing Ability in Bengkulu)

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemangkusan dua strategi pengajaran, strategi rekonstruktif dan strategi komunikatif, dalam meningkatkan kemampuan mengarang. Tipe Kepribadian introversi dan ekstroversi dipilih sebagai ubahan kendali. Penelitian dilaksanakan pada siswa SMP (SMPN11dan SMPN 9) pada tahun ajaran 1996/1997. Kelas penelitian di SMPN 11 diajar dengan strategi rekonstruktif dan kelas penelitian di SMPN 9 diajar dengan strtategi komunikatif. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimen dan menggunakan rancangan faktorial 2x2. Untuk analisis data digunakan analisis variansi (ANAVA) 2 jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) terdapat perbedaan pengaruh strategi pengajaran rekonstruktif dan komunikatif terhadap kemampuan mengarang (F=11,84 ≥ Ft=2,72); (b) terdapat perbedaan pengaruh tipe kepribadian introversi dan ekstroversi terhadap kemampuan mengarang (F=4,89 ≥ Ft=2,72); (c) terdapat interaksi antara strategi pengajaran dan tipe kepribadian terhadap kemampuan mengarang (F=14,95 ≥ Ft=2,72). Berdasarkan analisis lanjutan dengan uji Tukey dan analisis rerata disimpulkan bahwa (a) siswa yang diajar dengan strategi rekonstruktif berprestasi lebih baik dalam mengarang dibandingkan dengan strategi komunikatif; (b) siswa ekstrovert berprestasi lebih baik dibandingkan dengan siswa introvert dalam mengarang; (c) strategi rekonstruktif memberi hasil lebih baik dalam kemampuan mengarang bagi siswa introvert dibandingkan dengan strategi komunikatif; dan (d) strategi komunikatif memberi hasil yang lebih baik dalam kemampuan mengarang bagi siswa ekstrovert dinadingkan dengan strategi rekonstruktif.

ABSTRACT
The purpose of this research was to compare the effectiveness of two teaching strategies, reconstructive strategy and communicative strategy, in increasing writing ability. Two personality types, introvesion and extroversion are selected as control variable. The research was carried out at two Junior High Schools (SMPN 11 and SMPN 9) during the second semester of year 1996/1997. The sample involved in the research was classes where reconstructive strategy and classes where communicative strategy were applied. The research was a quasi-experiment one using 2 x 2 factorial design. The 2 way-analysis of variance (ANOVA) was used to analyzed the data obtained. The result showed that (a) there was a significant influence of reconstructive strategy on writing ability (F=11,84 ≥ Ft=2,72); (b) there was a significant difference of influence of introversion and extroversion type on writing ability (F=4,89 ≥ Ft=2,72); (c) there was an interaction between the teaching strategy and personality type which exert different effects on writing ability (F=14,95 ≥ Ft=2,72). Further analysis of the data using Tukey test and analysis of means revealed that (a) students’ achievement in writing taught by reconstructive strategy was higher than of those taught by the communicative one; (b) extrovert students’ achievement in writing was higher than the introvert one; (c) for introvert students, the reconstructive was more effective than the communicative one in increasing writing ability; and (d) for extrovert students, the communicative strategy was more effective than the reconstructive one.



LATIHAN MENGARANG DENGAN PENDEKATAN POLA RETORIKA
(Agus Trianto . The Rhetoric Pattern Approach in Writing Exercises at SMP 1 Bengkulu. The research funded by Secondary School Teacher Development Project, Dikti, 2000)

ABSTRAK
Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan hasil pembelajaran mengarang bahasa Indonesia. Pendekatan pola retorika diterapkan di kelas II SMP 1 Kota Bengkulu. Data dikumpulkan dengan pengamatan dan penilaian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan pola retorika (oriental) dapat mengurangi hambatan psiklogis siswa saat mulai mengarang; dan meningkatkan mutu karangan meski dengan perkembangan yang agak lamban.

ABSTRACT
This classroom action research was intended to improve teaching writing in Bahasa Indonesia. The rhetoric-pattern-approach was implemented in the second grade of secondary school (SMP 1) in Bengkulu. The data data were collected through observation and evaluation. The results indicate that the rhetoric-pattern-approach, the oriental one, decrease the psychological barrier in start writing; the approach also improved students’ writing in slow development.

Kata Kunci: pendekatan pola retorika, kemampuan mengarang



ANALISIS RETORIKA HUMOR MAHASISWA

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang struktur generik teks humor. Data teks humor yang dianalisis diambil dari Humor Mahasiswa karya James Danandjaja. Data teks dianalisis berdasarkan model struktur generik teks naratif oleh Labov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) teks yang berfek humor cenderung berpola atau memiliki struktur generik teks tidak lengkap, yaitu berpola orientasi-perumitan peristiwa-resolusi, atau minimal berpola abstaksi-resolusi; (2) ketidak-lengkapan struktur generik teks tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan efek ketakterdugaan dan kejutan; dan (3) struktur generik teks humor yang berpola lengkap (abstraksi-orientasi-perumitan peristiwa-resolusi-koda) cenderung tidak menimbulkan efek kelucuan; (4) teks humor untuk mahasiswa dapat menimbulkan efek kelucuan jika sesuai dengan situasi psikologis dan kognitif mahasiswa.

ABSTRACT
The purpose of this research was to describe the generic structure of students’ humor. The data or text was collected from Humor Mahasiswa by James Danandjaja. The Labov model of narrative generic structure was used to analyse the data obtained. The result showed that (1) the text which has humor effect tend to patterned or has an incomplete element structure of narrative generic structure, which is has orientation-complicating event-resolution only ; (2) the incomplete generic structure is meant to get the surprise effect; (3) the complete generic structure tend to cannot give an humor impression; (4) the college students have a good respons to the text of humor if it is fit to their psychological and cognitive situation.

Kata Kunci:Teks Humor, Struktur Teks Generik.
Penelitian Dosen Muda, 2000



KAJIAN RETORIKA TULISAN KOLOM
PENELITIAN DOSEN MUDA (BBI) PERGURUAN TINGGI TAHUN 2002
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang retorika tulisan kolom (opini) yang dikaji berdasarkan struktur generik teks. Data teks tulisan opini yang dianalisis diambil dari Harian Kompas dan Republika. Data teks dianalisis berdasarkan model struktur generik teks naratif oleh Labov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: hampir semua tidak memiliki bagian abstrak (A), pada umumnya memiliki bagian perumitan peristiwa (P) dan resolusi (R), sedangkan untuk koda (K) bersifat pilihan. Penulis kolom menggunakan berbagai gaya/bentuk pengungkapan pada bagian pengantar teks atau orientasi. Pola retorika yang menonjol, berdasarkan struktur teks yang digambarkan melalui panjang teks, adalah pola siklik. Hal ini ditandai dengan panjang bagian resolusi (R) lebih sedikit dari bagian (O) dan (P). Bagian O dan P yang lebih panjang menunjukkan cara pengungkapan yang melingkar.


ABSTRACT
The purpose of this research was to describe the rhetoric of column text (giving opinion) by Labov generic structure of the text. The data or text was collected from Kompas and Republika. The Labov model of narrative generic structure was used to analyse the data obtained. The result showed that generally (1) has no abstrak (A) part, has the part of complicating event (P) and resolution (R), the coda part is optional. The column writer using his/her own style in giving intoduction/orientation of the text. The rhetoric pattern of all the text is cyclic, based on the comparation of the structure of the text.



TELAAH SARKASME JUDUL BERITA SURAT KABAR
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang sarkasme judul berita surat kabar yang dikaji berdasarkan prinsip sopan santun, penggunaan diksi, dan teori kesantunan tindak keterancaman muka. Data yang berupa judul teks yang dianalisis diambil dari surat kabar Bengkulu Ekspress, Semarak Bengkulu, Kompas, Koran Tempo, dan Rakyat Merdeka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pelanggaran prinsip sopan santun yang memungkinkan munculnya muatan sarkasme adalah pelanggaran maksim pujian dan maksim simpati; (2) Sarkasme yang diakibatkan oleh penggunaan diksi yang berkonotasi kurang baik adalah penggunaan kata-kata yang berkonotasi tidak enak, kasar, dan keras; (3) Tindak tuturan judul berita yang mengandung makna sarkasme akibat pelanggaran prinsip sopan santun dan diksi yang berkonotasi kurang baik sekaligus berarti tindak tuturan tersebut mengancam muka positif dan negatif; (4) Prinsip sopan santun, penggunaan diksi yang berkonotasi baik, dan tindak tutur yang tidak mengancam muka adalah pilihan strategi berbahasa yang efektif dalam berkomunikasi yang santun dan berbudaya dibanding penggunaan sarkasme atau eufimisme.

ABSTRACT
The purpose of this research was to describe the sarcasm in newspaper subtitles by politeness principles, using diction, and politeness theory face threatening act. The data or titles and subtitles was collected from Bengkulu Ekspress, Semarak Bengkulu, Kompas, Koran Tempo, dan Rakyat Merdeka. The result showed that (1) sarcasm was caused by infraction of politeness principles generally was caused by infraction of approbation and sympathy maxim; (2) sarcasm was caused by using diction which has impact on rudeness and hyperbolic meaning; (3) sarcasm was caused by infraction of politeness principles and using diction were also face threatening act, positive and negative; (4) politeness principles, using diction, and avoid face threatening act were more effective in communication than using sarcasm or euphemism.


Kata Kunci: Sarkasme, Prinsip Kesantunan, Diksi, Tindak Mengancam Muka, Judul dalam Surat Kabar.










PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS KOMPETENSI BERDASARKAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF DAN MEANINGFUL LEARNING YANG BERPERSPEKTIF MULTIKULTURAL
(Hibah Bersaing XIV 2006-2007)

The Development of Competence-Based Indonesian Material Model Based on Communicative Approach, Meaningful Learning and Multicultural Perspective

ABSTRACT

The purpose of this research was to develop and validate the model of instructional materials (textbook) of Indonesian for Junior Secondary School (SLTP) as an implementation of Competence-Based Curriculum or Kurikulum 2004. The research and development steps were (1) theoretical review, (2) need identification, (3) textbook analysis, (4) instructional analysis of Kurikulum 2004, (5) making the preliminary form of product: Teacher’s Book and Student’s Book, (6) preliminary field-testing, (7) model revision, (8) main field-testing, (9) model revision, (10) operational field-testing, (11) readability testing, (10) final textbook model.
The research concludes a set of key principles of the material model and produce Teacher’s Book and Student’s Book for SLTP Grade 7. The principles are: (1) materials should be based on Kurikulum 2004, using communicative approach, and meaningful learning; (2) the task-based syllabus material derived from the curriculum; (3) using authentic text, and the task incorporate multicultural perspectives; (4) the unit structure of material content are preliminary explanation, linguistic model, text model, and task.
The respondents’ opinions, the t-test analysis and readability formulae were used to test the model product (textbook) effectiveness. The result showed that the design of learning material was effective for grade 7 and 8. Therefore, need identification and instructional analysis in textbook design and development will lead to a better product.

Rabu, 13 Agustus 2008

Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Terlengkap di Indonesia







Buku PASTI BISA untuk Kelas 7, 8, dan 9 ini dilengkapi dengan Buku Guru (berisi silabus dan RPP yang juga memuat cara mengajarkan setiap unit termasuk kunci jawaban dan panduan penilaian kompetensi. Selain itu buku PASTI BISA dilengkapi juga dengan CD pembelajaran yang berisi panduan pengembangan kompetensi yang bersifat audio-visual, seperti cara membaca puisi, cara berpidato, berdebat, atau bermain drama. Jika ada sekolah yang sudah memakai buku ini tapi tidak mendapatkan hal yang saya sebutkan di atas, silakan menghubungi penerbit Esis-Erlangga atau kepada saya langsung. Terima kasih.
Pembahasan yang berkaitan dengan buku ini antara penulis dan guru-guru Bahasa Indonesia (MGMP Kota) telah diadakan di kota Surabaya, Yogyakarta, Jakarta (guru SMP dan SMA BPK Penabur), Kebumen, Purwokerto, Bengkulu, Padang, dan Manna. Akan menyusul di kota-kota lain yang berniat mengundang penulis.


















Jumat, 01 Februari 2008

KONTRIBUSI LINGUISTIK STRUKTURAL DAN TRANSFORMASI GENERATIF DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA (PBI)

Prof. Dr. Achmad HP.

1. PENDAHULUAN

Pengajaran Bahasa Indonesia (PBI) sebagai suatu khasanah penerapan teori interdisipliner kebahasaan, psikologi, sosiologi dan ilmu yang lain dewasa ini berkembang semakin berkembang semakin semarak. Alur perkembangannya dapat disebut sejajar dengan perkembangan ilmu yang memberikan kontribusi kepada PBI. Isu-isu yang menonjol dalam setiap perkembangan dapat dimanfaatkan dalam rangka peningkatan mutu PBI.

Uraian singkat berikut mencoba mengungkapkan isu-isu yang menonjol dalam kurun waktu penggal lintas waktu (cross sectional past time study), yang dalam studi kebahasaannya (Linguistic), orang menyebutnya sebagai ”linguistic plus”

2. ISU-ISU PENGAJARAN BAHASA

Era Strukturalis
Isu-isu pengajaran bahasa lebih menonjol pada masa menjulangnya linguistik struktural. Linguistik struktural yang terkenal sejak perang dunia kedua dalam kaitannya dengan program pengajaran bahasa memiliki 5 (lima) asumsi umum. Asumsi umum itu terdiri atas: Pertama, bahwa prosedur kerja linguistik (struktural) dapat digunakan sebagai metode pengajaran bahasa. Asumsi ini mengisyaratkan kepada penekanan perlunya latihan berbicara dan menggunakan informan asli untuk menirukan dan latihan lafal. Melalui latihan-latihan pasangan minimal siswa berlatih membedakan fonem-fonem, dan berusaha menghasilkan fonem dalam cara pasangan minimal, yang dapat dikenali penutur asli. Setelah itu siswa mempelajari isyarat-isyarat gramatikal (morfem, kata tugas, urutan kata), melalui berbagai-bagai latihan subtitusi dan perluasan dalam bentuk pola-pola latihan (drill).

Kita dapat mengidentifikasikan aspek-aspek aliran struktural yang berpengaruh dalam pengajaran bahasa terutama metode audio-lingual. Terdapat penekanan yang lebih besar terhadap berbicara dari pada menulis, dalam tahap awal metode audio-lingual. Hal ini disadari oleh asumsi kedua yang menyatakan bahwa materi pengajaran bahasa harus disajikan dalam bentuk latihan berbicara sebelum siswa diperkenalkan dengan latihan menulis. Pada tahap awal keterampilan berbahasa berbicara dan menyimak dianggap lebih penting, dan baru kemudian membaca dan menulis.

Linguistik struktural tidak terlalu memperhatikan makna. Dalam analisa bahasa, mereka tidak membentuk-bentuk yang mirip. Oleh karena itu asumsi ketiga yang disodorkan adalah bahwa tidaklah penting bagaimana makna itu diperoleh siswa. Makna itu dapat ditanyakan saja langsung kepada penutur asli.

Asumsi yang keempat menyatakan bahwa tidak perlu menyajikan gradasi dan urutan kekomplekan gramatikal pada materi yang dipelajari siswa. Asumsi ini berdasarkan kepada tesis dalam analisis struktural bahwa ahli bahasa hanya memiliki kontrol yang sedikit terhadap kekomplekan data yang diperoleh dari informannya. Apabila ahli bahasa itu menemukan data (ujaran) yang terlalu kompleks, cenderung menghindar atau dipilih dari yang tidak komplek. Dalam pengajaran bahasa mereka berpendapat bahwa struktur yang kompleks akan menyulitkan siswa dalam proses memorinya.

Salah satu alasan mengapa kaum strukturalis kurang memperhatikan makna dalam analisisnya, karena mereka berpendapat bahwa makna ini bersifat abstrak, tidak dapat diindra, dan makna ini hanya ada dalam pikiran, dan karena itu makna dianggap pula bersifat subyektif. Ilmuwan mestilah mengamati fenomena dan baru mempelajarinya. Tegasnya ilmuwan harus mempelajari apa yang bisa diamati. Sikap yang demikian melahirkan asumsi yang kelima yang menyatakan bahwa bahasa itu adalah tingkah laku dan tingkah laku dapat dipelajara dengan cara melakukan. Karena itu siswa mempelajari bahasa dengan cara melakukan respon dalam praktek-praktek latihan kegiatan berbahasa dan penguatan bagi respon yang benar. Asumsi yang terakhir ini sesungguhnya hasil dari analisis kaum psikologi behavioris. Oleh karena itu orang dapat mendiskusikan lebih lanjut tentang tehnik pengajaran bahasa melalui respon dari penguatan ini.
Asumsi-asumsi di atas terutama asumsi ketiga dan keempat banyak mengandung perdebatan di kalangan guru bahasa, sedangkan asumsi yang kelima telah diserang langsung penganut tata bahasa generatif.

Era Tata Bahasa Generatif
Chomsky sendiri menyatakan bahwa tata bahasa generatif (TG) tidak memiliki relevansi terhadap pengajaran bahasa, dan selama TG tidak tertarik akan prosedur penemuan (discovery procedures), tidak ada aspek metodologis dari TG yang dapat diimplitasikan dalam teknik pengajaran bahasa, sebagaimana metode linguistik struktural. Namun demikian banyak interes dalam pengajaran bahasa berasal dari TG yang mendasarkan pada asumsi-asumsi yang dilahirkan oleh TG.

Asumsi-asumsi ini mencakup :Pertama, bahwa guru akan memfokuskan pada pengembangan kompetensi bahasa anak daripada ke fokus pada perfomansi, walaupun kompetensi bahasa hanya dapat dikembangkan dan dinilai melalui performansinya. Asumsi ini didasari pada tujuan utama dari TG, yaitu memperoleh gambaran tentang kompetensi bahasa penutur asli. Apabila tujuan guru memfokuskan pada performansi, hal itu kadang-kadang mendatangkan hasil yang tidak menguntungkan. Siswa boleh jadi berlatih dengan pola-pola kalimat tanpa mengetahui makna apa yang dikatakannya atau tanpa menggunakan selama komunikasi yang riel. Tentu saja memang pengembangan kompetensi bahasa anak harus menjadi tujuan dalam pengajaran bahasa, bahkan sebelum munculnya TG. Pembedaan secara tegas (eksplisit) antara kompetensi dan performansi bagaimanapun menyadarkan kepada guru bahwa sejumlah performansi (baca latihan keterampilan berbahasa) yang diperoleh siswa harus diakitkan dengan tingkat pengembangan kompetensi bahasa mereka. Latihan-latihan yang intensif (performansi), tanpa menyadari makna tidak akan meningkatkan kompetensi. Dalam latihan dialog misalnya siswa memang dapat memperoleh keterampilan menghasilkan pola-pola kalimat secara sempurna dalam suatu situasi khusus. Akan tetapi kompetensi kebahasaan siswa bukan ditunjukkan oleh diperolehnya sejumlah kalimat-kalimat yang gramatikal. Kompetensi itu harus ditunjukkan oleh hanya jika siswa dapat menggunakan pola kalimat itu dalam situasi komunikasi yang riel.

Defenisi tata bahasa menurut TG yang menyatakan bahwa tata bahasa merupakan sebuah sistem kaidah yang menurunkan (menghasilkan) kalimat-kalimat gramatikal suatu bahasa, dan ide yang menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah aktivitas yang kreatif (a creative oreativity), mengantarkan kepada asumsi kedua. Asumsi kedua ini menyatakan bahwa selama bahasa adalah sebuah aktivitas yang kreatif, dalam tahap belajar manapun guru akan mengarahkan siswanya untuk kreatif menghasilkan ujaran-ujaran (kalimat) baru, daripada sekedar mengulang-ulang atau mengingat-ingat apa yang telah diperolehnya dalam belajar. Meskipun Chomsky mengidentifikasikan kaidah-kaidah TG dengan kompetensi penutur asli, kita tidak harus menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ini secara sadar digunakan oleh penutur asli dalam menghasilkan ujaran (kalimat). Demikian juga, suatu kaidah tatabahasa tidak berimplikasi dalam pengajaran kaidah-kaidah bahasa. Akan tetapi sesungguhnya kaidah-kaidah itu adalah suatu deskripsi dari idealisasi pengetahuan penutur asli yang tersimpan dalam kesadaran dan kemudian dapat menolongnya menciptakan (menghasilkan) ujaran baru secara kreatif.

Informasi di atas menghantarkan kepada asumsi ketiga, yang menyatakan bahwa dalam berbagai tahap belajar bahasa kemampuan siswa untuk menciptakan ujaran-ujaran baru akan bertambah dengan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan ujaran.

Dalam teori TG seorang anak memperoleh kompetensinya dalam tahap awal dalam bahasa ibunya. Dalam setiap tahapan anak membentuk hipotesis tertentu tentang kode dan mengetesnya dengan ujaran yang didengarnya, sampai pada akhirnya anak mempelajari keseluruhan kode menurut pandangan ini ujaran anak yang menyimpang dari ujaran dewasa bukanlah suatu kesalahan (errors) melainkan suatu manifestasi dari sejenis kode yang telah dia kontrol dalam tahap yang bersangkutan. Apabila kita mengasumsikan bahwa belajar bahasa kedua sama dengan belajar bahasa pertama, kita dapat mengajukan asumsi yang lain untuk pengajaran bahasa yang berhubungan dengan ide kalimat inti (kernels) dan transformasi. Kita mengetahui bahwa ”Kernels” adalah struktur yang lebih kompleks. Informasi di atas mengantarkan kepada asumsi yang keempat, yang menyatakan bahwa guru bahasa akan menyajikan pertama-tama kalimat inti (kernels sentences), yang kemudian diikuti dengan kalimat transformasi, yang juga akan disusun agar dapat menambah kompleksitas kalimat, misalnya transformasi dari kalimat kernels pertama diikuti oleh kalimat transformasinya. Kalimat kernels kedua diikuti oleh kalimat transformasinya, dan demikian seterusnya.

Konsep TG yang lain adalah dibedakannya antara struktur batin (deep structures) dan struktur lahir (surface structures). Hal ini mengantarkan kepada asumsi kelima yang menyatakan bahwa guru bahasa tidak akan mengkombinasikan struktur lahir yang identik tetapi dari transformasi struktur batin yang berbeda, dalam satu latihan kalimat. Hal ini dikarenakan jika kepada siswa disajikan struktur-struktur yang identik akan mengalami kesulitan dalam mencari struktur batinnya.

Apabila manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk memperoleh bahasa (kemampuan bawaan untuk memperoleh bahasa), siswa mempunyai kedudukan yang penting daripada guru dalam situasi belajar. Hal ini memberikan asumsi yang keenam yang menyatakan bahwa guru akan menciptakan suasana (atmosphere) yang memungkinkan digunakannya kemampuan bawaan siswa dalam belajar secara kreatif.

3. PEMANFAATAN ASUMSI-ASUMSI LINGUISTIK STRUKTURAL DAN TRANSFORMASI GENERATIF DALAM PBI

Pemanfaatan akan asumsi-asumsi dua kelompok aliran linguistik di atas dalam pengajaran bahasa didasarkan pada kajian psikolinguistik. Psikolinguistik (yang dimulai dikenal sejak tahun 1951), adalah lapangan studi sebagai sebagai kombinasi (interdisipliner) antara psikologi dan linguistik. Salah satu isu yang relevan yang dapat kita angkat dari psikolinguistik dalam kaitannya dengan pemanfaatan asumsi-asumsi linguistik struktural dan transformasi generatif adalah isu tentang pemerolehan bahasa (language acquisition).

Terdapat dua teori tentang pemerolehan bahasa: teori belajar kode-kognitif (the cognitive-code learning theory), yang dihasilkan oleh TG, dan teori pembentukan kebiasaan (habit-formation theory) dari linguistik struktural.

Dalam memanfaatkan asumsi-asumsi dan model pemerolehan bahasa di atas guru harus membuat beberapa catatan pertimbangan pemanfaatan:
(1) Jika pemerolehan bahasa adalah suatu pembentukan kebiasaan (habit formation), guru bahasa harus menyusun program secara konkret. Jika hal ini yang dipilih maka beberapa kegiatan yang perlu dilakukan antara lain:
a. mintalah kepada siswa agar meniru model yang disajikan guru
b. berikan pola-pola latihan (pattern drill), untuk menyatakan kebiasaan bertingkah laku (habit of behaviour)
c. berikan kepada siswa penguatan (reinforcement) untuk respons (jawaban) yang benar dan kurangi (hilangkan, eliminate) respons yang salah, dan
d. biarkan siswa belajar secara induktif, menafsirkan kaidah-kaidah yang telah dipelajarinya.

(2) Sebaliknya apabila pemerolehan bahasa adalah belajar tentang kode (a matter of cognitive learning code), guru bahasa harus menjamin bahwa siswa mampu menginternalkan (internalized) kaidah-kaidah yang memungkinkan siswa mampu menghasilkan kalimat. Penjelasan mengenai struktur kalimat dan pengetahuan tentang kaidah harus ditempatkan dalam skala aturan yang luas dalam pengajaran bahasa.

Tentu saja dalam setiap teori terdapat kekuatan dan kelemahan. Kelemahan dari pembentukan kebiasaan (habit formation) antar lain adalah bahwa siswa tidak dilatih menggunakan kalimat (struktur) dalam situasi komunikasi yang aktual. Namun kekuatannya juga ada, yaitu antara lain bahwa penguasaan akan kaidah-kaidah yang dipelajari oleh siswa sangat kecil. Kelemahan dari teori belajara kode (learning code), bahwa dalam kenyataannya kaidah-kaidah (kode) bahasa itu tak terbatas jumlahnya, dan kemampuan memperoleh kalimat yang benar sangat tergantung kepada lingkungan berbahasa siswa (berbagai macam variasi, laras, dan register). Kekuatan teori ini antara lain adalah bahwa pengetahuan tentang fakta (bahasa) dan kaidah formal bahasa dapat secara nyata menolong mengarahkan siswa untuk membentuk kalimat yang baik (baku).

(3) Sehubungan dengan kelemahan dan kekuatan kedua teori belajar bahasa di atas, J.B. Carol (1971), mengajukan sintesa kedua teori belajar tersebut yang diberi nama teori pembentukan kebiasaan kognitif (cognitive code learning). Menurut teori Carol ini belajar bahasa adalah rangkaian antara latihan-latihan menguasai pola-pola dan sekaligus menciptakan kondisi belajar yang kondusif agar pola-pola itu terinternalisasikan dalam kesadaran siswa. tahap berikutnya siswa didorong untuk mampu menghasilkan kalimat baru. Internalisasi dan pembentukan kalimat baru saja, tidak cukup. Tahap berikutnya menurut Carol, siswa harus diterjunkan dalam situasi komunikasi riel seperti yang terjadi pada penutur asli.

Tiga cara pemanfaatan di atas, masih dapat didiskusikan lebih lanjut, lebih-lebih jika sudah berkaitan dengan penyusun perangkat bahan atau materi ajarnya. Namun tinjauan singkat selayang pandang ini bisa juga dipandang sebagai rambu-rambu dalam peningkatan PBI.





DAFTAR PUSTAKA

Carrol, J.B., Current Issues in Psycholinguistics and Second Language Teaching TESOL Quarterly, 1971.
Chomsky, N., Aspects of the Theory of Syntax, Cambridge, Mass. M.I.T. Press, 1965.
--------------., Linguistictheory, In Mead, Robert G (ed) Language Teaching Broader Contexts, New York. MPA Materials Centre, 1966.
Gleason, H.A., An Introduction to Descriptive Linguistics, New Yourk. Holt Rinehart and Winston, 1961.




Senin, 21 Januari 2008

Kesinoniman dan Pengajaran Bahasa Indonesia


Agus Trianto

1. Pendahuluan

Pada hakikatnya manusia selalu ingin mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya dan menyebarluaskan apa yang telah diketahuinya. Untuk itu manusia selalu ingin berkomunikasi dengan sesamanya. Media komunikasi yang paling penting adalah bahasa. Dengan demikian, kemampuan berbahasa menjadi bagian penting untuk dapat berkomunikasi dengan baik.

Salah satu tujuan berkomunikasi adalah menyampaikan informasi (gagasan/pesan/ amanat) kepada sasaran komunikasi. Untuk dapat mendukung tujuan terseebut dibutuhkan kemampuan menggunakan kata-kata secara cermat. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan mencari ungkapan-ungkapan yang tepat untuk suatu konsep tertentu atau dalam konteks-konteks tertentu.

Pengetahuan tentang kesinoniman kiranya dapat menunjang kemampuan di atas karena sesungguhnya kesinoniman merupakan sumber yang sangat berharga bagi setiap penulis (Ullman, 1983: 151). Jika hal ini dikaitkan dengan pemasukan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia maka guru juga perlu mengajarkan kesinoniman, dalam hal-hal praktis, untuk membantu meningkatkan kemampuan pragmatik siswanya.

2. Kesinoniman

Pada umumnya sinonim diartikan sebagai ungkapan-ungkapan yang mempunyai arti sama. Lyons (1981: 50) berkeberatan dengan definisi tersebut karena dapat memberikan kemungkinan bahwa suatu leksem simpleks dapat mempunyai arti yang sama dengan suatu leksem kompleks.

Verhaar (1982:132) membedakan kesinoniman menurut taraf di mana bentuk tersebut terdapat, yaitu pada antarmorfem, antarkata, antarfrasa, dan antarkalimat. Pertanyaan yang dapat diajukan terhadap pembedaan tersebut adalah: (a) Apakah itu berarti juga ada kesinoniman antarwacana?; (b) Apa tidak mungkin suatu kata bersinonim dengan suatu frasa atau bahkan kalimat?; (c) Bagaimana menguji kesinoniman dalam antarfrasa, antarmorfem, atau antarkalimat? Pembedaan seperti ini mungkin saja ada tetapi tentunya perlu adanya penjelasan yang memadai. Oleh karena itu dalam tulisan ini hanya dibahas tentang kesinoniman yang terdapat dalam antarleksem (antarkata).

Dalam kenyataan berbahasa, dua leksem yang memiliki arti yang persis sama memang amat jarang kecuali dalam persitilahan. Sehubungan dengan hal itu dibedakan antara sinonim mutlak dengan near-synonym ‘sinonim dekat’ atau homoionym, pseudo-synonym. Sinonim dekat berarti ungkapan-ungkapan yang mempunyai arti lebih kurang sama, tetapi tidak identik (Lyons, 1981:50).

Lyons memakai istilah partial synonymy ‘kesinoniman separa’ untuk sinonim dekat. Perbedaan antara sinonim mutlak dengan sinonim separa ditentukan oleh syarat-syarat sebagai berikut (Lyons, 1981:50-51): (a) sinonim itu bersinonim penuh (full), jika dan hanya jika semua artinya identik atau memiliki tingkat arti yang sama; (b) sinonim itu bersinonim keseluruhan (total), jika dan hanya jika, bersinonim dalam semua konteks atau tingkat kekolokasian ungkapan; (c) sinonim itu bersinonim sempurna (complete), jika dan hanya jika, identik pada semua dimensi arti yang relevan atau leksem tersebut mengandung makna deskriptif, ekspresif, dan sosial yang sama. Sinonim mutlak adalah ungkapan-ungkapan yang bersinonim penuh, keseluruhan, dan sempurna sedangkan sinonim separa adalah sinonim yang bukan sinonim mutlak.

Syarat-syarat di atas sebenarnya mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada dua kata yang benar-benar bersinonim. Hal ini dikemukakan Palmer (1981:89-91) dengan memberikan cara-cara melihat perbedaan yang terdapat dalam sinonim. Perbedaan di antara sinonim dapat juga disebut sebagai sebab-sebab terjadinya sinonim, yaitu: (a) akibat perbedaan dialek, misalnya warung yang banyak dipakai di Jawa dan kedai untuk daerah Sumatera; (b) karena adanya berbagai laras bahasa yang ditentukan oleh pemakai bahasa dan bidang pemakaian, seperti mangkat untuk raja dan meninggal untuk orang biasa, evaluasi yang dipakai di bidang pendidikan untuk penilaian; (c) karena konotasi, beberapa kata bersinonim tetapi berbeda karena nilai rasa/arti emotif/arti evaluatif, misalnya babu yang karena mempunyai nilai rasa tertentu muncul sinonimnya, yaitu pramuwisma; (d) terjadi pembatasan karena kolokasi, sinonim yang muncul secara sintagmatis atau berdampingan yang dianggap wajar oleh kaidah kolokasi, misalnya ayu, anggun, cantik untuk wanita berdampingan dengan kacak, lampai, tampan untuk pria; (e) banyak kata yang mempunyai arti begitu dekat atau arti kata tersebut tumpang tindih, misalnya kata bagus dengan indah, perintah dengan suruh, cantik dengan molek/anggun/ ayu/comel. Cara lain untuk melihat perbedaan antarkata yang bersinonim adalah dengan menyusunnya ke dalam suatu seri sehingga terlihat keperbedaan artinya, misalnya dalam pecah, hancur, remuk, luluh, lebur (Ullman, 1983:144).

Untuk menentukan dua atau lebih kata itu bersinonim satu sama lain diperlukan suatu cara menguji kesinoniman antarkata. Cara yang pertama adalah dengan penyulihan (substitution), yaitu dengan menyulihkan suatu kata dengan kata yang lain. Jika dalam penyulihan didapat informasi yang sama dan tetap wajar maka dapat dikatakan sinonim. Jika kata bagus dapat saling menyulihkan dengan kata indah dalam rumpang rumah itu …. maka bagus dan indah dapat dianggap sinonim. Cara yang kedua adalah dengan mencari “lawan kata” dari dua atau lebih kata yang dianggap sinonim. Pintar dan pandai dianggap sinonim karena keduanya dapat “dilawankan” dengan bodoh. Cara ketiga adalah dengan melihat perbedaan dalam konotasi (arti emotif). Staf, karyawan, buruh, dan kuli mengacu kepada denotata yang sama tetapi masing-masing mempunyai konotasi yang berbeda, itu berarti kata-kata tersebut dapat dianggap sinonim (Palmer, 198:91-93).


3. Konotasi

Dalam pembicaraan tentang kesinoniman di atas, istilah konotasi telah dua kali disinggung. Pembicaraan mengenai konotasi cukup menarik jika dikaitkan dengan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Tujuan utama pengajaran Bahasa Indonesia adalah agar siswa dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Hal ini ditunjang dengan dimasukkannya pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Pragmatik ditentukan oleh, salah satunya, ada tidaknya konotasi sebab konotasi lebih banyak berkaitan dengan pemakaian bahasa. Konotasi terjadi karena interaksi antara suatu satuan bahasa dengan subjektivitas (pertautan pikiran atau perasaan) pemakai bahasa.

Wilayah penerapan konotasi berbeda karena perbedaan pemakai bahasa. Pemakai bahasa di sini meliputi perseorangan, kelompok, atau masyarakat. Kata kamu bagi pemakai bahasa di Jawa pada umumnya berkonotasi negatif, sedangkan bagi pemakai bahasa di daerah Sumatera pada umumnya dapat berkonotasi positif atau hormat atau paling tidak netral.

Satuan bahasa yang mengacu kepada hal-hal yang bersifat pribadi, seperti soal pembiakan dan hal-hal yang berhubungan dengan pencernaan, biasanya sarat dengan konotasi. Hal ini terjadi karena pemakai bahasa ingin atau lebih suka mengungkapkan sesuatu yang bersifat pribadi secara pribadi atau khusus. Apabila ungkapan khusus tersebut lambat laun menjadi umum, maka pemakai bahasa cenderung untuk mencari ungkapan lain untuk acuan yang sama. Misalnya untuk kata bersetubuh, kata lain yang muncul setelah itu adalah bersanggama, hubungan kelamin, bersebadan, dan sambung raga. Konotasi juga terjadi karena pertautan satuan bahasa dengan status atau strata sosial tertentu, seperti dalam babu, pembantu rumah tangga, dan pramuwisma.

Konotasi dalam pengajaran bahasa setakat kini biasanya disamakan dengan kiasan atau majas. Hal ini disebabkan kesalahpengertian terhadap pengertian konotasi. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SLTP atau SMU dan buku-buku kebahasaan lainnya yang memberikan pengertian konotasi sebagai makna tambahan/sampingan (Rumadi & Barung, 1989:2; Suparni, 1988:134; Pateda, 1986:62). Pengertian makna tambahan inilah yang mungkin menyesatkan. Penambahan ini bukannya penambahan makna (konsep). Dalam kenyataannya, penambahan ini berupa pemindahan makna (konsep), seperti contoh yang terdapat dalam buku-buku tersebut: kutu buku = rajin membaca, makan garam = banyak pengalaman, amplop = uang sogok, dan kursi = jabatan/kedudukan.

Salah satu buku yang cukup berwibawa dan banyak dipakai oleh para guru sebagai acuan, yaitu buku Pengajaran Semantik oleh Tarigan (1980), ternyata juga masih terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dalam hal ini yang berkaitan dengan konotasi. Penulis ini setuju dengan pengertian konotasi yang merupakan responsi-responsi emosional yang timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan para pemakainya (Tarigan, 1980:56-81). Pada pembicaraan selanjutnya Tarigan menyebut makna konotatif sebagai makna tambahan yang dinyatakan secara tidak langsung oleh kata tersebut. Yang dapat dicatat dari kedua pengertian itu adalah bahwa kedua pengertian tersebut mengacu kepada dua hal yang berbeda, yang satu berhubungan dengan pemakai bahasa yang lainnya dengan kata itu sendiri. Kesimpangsiuran pengertian mengenai onotasi tersebut tergambar juga melalui contoh-contoh yang diberikannya. Kata langsing dan kurus diuraikan konotasinya tetapi kurang diperhatikan bahwa langsing dan kurus mengacu kepada denotata yang berlainan. Pengalihan denotata semacam ini berhubungan dengan pembicaraan tentang majas. Hal yang sama tergambar dalam pembicaraan ragam konotasi berbahaya, dengan contoh-contoh seperti pencuri = panjang tangan, tikus = putri, hantu = nenek, raja hutan = singa, dan lain-lain.


4. Kesinoniman dalam Pengajaran Bahasa Indonesia

Tujuan pengajaran Bahasa Indonesia, seperti yang tercantum dalam Kurikulum 1994, adalah untuk mengembalikan pengajaran Bahasa Indonesia kepada fungsi komunikasi. Oleh karena itu, orientasi belajar-mengajar harus didasarkan pada tugas dan fungsi komunikasi.
Pengajaran secara pragmatik merupakan perwujudan konsep tujuan pengajara seperti tersebut di atas. Pemasukan pragmatik dalam Kurikulum 1994 dimaksudkan untuk menajamkan pengertian tentang keterampilan berbahasa yang selama ini hanya diartikan secara umum dengan berbicara, menyimak, menulis, dan membaca.

Pengertian pragmatik, menurut Levinson (1983), adalah kajian pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang digunakan dengan konteksnya. Pragmatik merupakan suatu keterampilan menggunakan bahasa dalam berbagai situasi untuk berbagai keperluan (Nababan, 1983). Jika fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik mempelajari struktur bahasa secara internal maka pragmatik mempelajari unsur-unsur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996). Dalam hal pengkajian makna bahasa, pragmatik dan semantik memiliki kedekatan pengkajian di samping juga adanya perbedaan. Perbedaan tersebut adalah

Pengetahuan tentang kesinoniman memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan yang sesuai dengan situasi dan konteks pembicaraan atau penulisan. Dalam hal lain, pengetahuan kesinoniman akan memungkinkan siswa membuat variasi dalam menginformasikan sesuatu.

Berdasarkan hal di atas, cukup beralasan jika guru memperhatikan kesinoniman sebagai salah satu penunjang pengajaran pragmatik. Dalam pengajaran di kelas, kesinoniman tudaklah harus diajarkan secara khusus tetapi dapat mengikut dalam materi yang lain, misalnya pragmatik atau keterampilan berbahasa yang lain. Pengetahuan kesinoniman dan bagaimana menggunakannya untuk mengungkapkan gagasan/konsep yang sesuai atau sebagai variasi diksi diajarkan melalui (a) tugas pencarian sinonim sejumlah kata dengan jumlah yang tida terlalu banyak tetapi berkesinambungan dan (b) melatih menggunakan kata-kata yang bersinonim dalam kalimat dengan tujuan membiasakan siswa mengungkapkan gagasan atau informasi dengan kata yang tepat.

Cara mengajarkan kesinoniman seperti di atas bertujuan mengupayakan siswa untuk lebih banyak beraktivitas. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman belajar yang diterima siswa bersifat langsung dan bukan karena lebih banyak diberitahu guru, walaupun guru wajib menjelaskan keterangan yang meragukan siswa.


5. Penutup

Kemampuan guru mengembangkan pengajaran secara kreatif akan membangkitkan minat dan gairah siswa, dan ini amat menentukan keberhasilan pengajaran. Apa pun materinya, apa pun metodenya jika siswa tidak berminat pelajaran akan berjalan dengan kaku dan membosankan.
Pengajaran kesinoniman yang selama ini lebih banyak memperhatikan kata-kata yang diserap dari bahasa asing yang kemudian dicarikan sinonimnya dalam Bahasa Indonesia sebaiknya dikurangi, kalau perlu dihindari, karena hal ini akan mengurangi sikap positif siswa terhadap Bahasa Indonesia. Untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap Bahasa Indonesia, salah satunya, adalah dengan cara menghadapkan siswa kepada kenyataan bahwa kosa kata Bahasa Indonesia itu begitu kaya, misalnya dalam pengungkapan cara.

Guru tidak perlu mengajar tentang kesinoniman tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana menggunakan kesinoniman dalam berbahasa yang sesungguhnya. Dengan kata lain, guru berupaya agar pemahaman tentang kesinoniman dapat memberikan manfaat bagi siswa untuk dapat menggunakan kata-kata secara cermat, yang pada tahap selanjutnya dapat membantu siswa menajamkan keterampilan berbahasanya.

Daftar Pustaka

Kemposon, Ruth, M. 1977. Semantic Theory. Cambridge: Cambridge UP.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge UP.
Lyons, John. 1981. Language, Meaning, and Context. London: Fontana.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik, Teori dan Penerapannya. Jakarta: P2LPTK.
Palmer, F.R. 1981. Semantics. Cambridge: Cambridge UP.
Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Ende-Flores: Nusa Indah.
Suparni. 1988. Penuntun Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Ganeca Exact.
Tarigan, Henry G. 1980. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Ullman, Stephen. 1983. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. London: Basil Blackwell.
Verhaar, J.W.M. 1982. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mengenai Saya

Foto saya
Dosen tetap pada FKIP Universitas Bengkulu; konsultan pendidikan; pendiri the Education Development Center Indonesia; Pengelola Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bengkulu