Jumat, 01 Februari 2008

KONTRIBUSI LINGUISTIK STRUKTURAL DAN TRANSFORMASI GENERATIF DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA (PBI)

Prof. Dr. Achmad HP.

1. PENDAHULUAN

Pengajaran Bahasa Indonesia (PBI) sebagai suatu khasanah penerapan teori interdisipliner kebahasaan, psikologi, sosiologi dan ilmu yang lain dewasa ini berkembang semakin berkembang semakin semarak. Alur perkembangannya dapat disebut sejajar dengan perkembangan ilmu yang memberikan kontribusi kepada PBI. Isu-isu yang menonjol dalam setiap perkembangan dapat dimanfaatkan dalam rangka peningkatan mutu PBI.

Uraian singkat berikut mencoba mengungkapkan isu-isu yang menonjol dalam kurun waktu penggal lintas waktu (cross sectional past time study), yang dalam studi kebahasaannya (Linguistic), orang menyebutnya sebagai ”linguistic plus”

2. ISU-ISU PENGAJARAN BAHASA

Era Strukturalis
Isu-isu pengajaran bahasa lebih menonjol pada masa menjulangnya linguistik struktural. Linguistik struktural yang terkenal sejak perang dunia kedua dalam kaitannya dengan program pengajaran bahasa memiliki 5 (lima) asumsi umum. Asumsi umum itu terdiri atas: Pertama, bahwa prosedur kerja linguistik (struktural) dapat digunakan sebagai metode pengajaran bahasa. Asumsi ini mengisyaratkan kepada penekanan perlunya latihan berbicara dan menggunakan informan asli untuk menirukan dan latihan lafal. Melalui latihan-latihan pasangan minimal siswa berlatih membedakan fonem-fonem, dan berusaha menghasilkan fonem dalam cara pasangan minimal, yang dapat dikenali penutur asli. Setelah itu siswa mempelajari isyarat-isyarat gramatikal (morfem, kata tugas, urutan kata), melalui berbagai-bagai latihan subtitusi dan perluasan dalam bentuk pola-pola latihan (drill).

Kita dapat mengidentifikasikan aspek-aspek aliran struktural yang berpengaruh dalam pengajaran bahasa terutama metode audio-lingual. Terdapat penekanan yang lebih besar terhadap berbicara dari pada menulis, dalam tahap awal metode audio-lingual. Hal ini disadari oleh asumsi kedua yang menyatakan bahwa materi pengajaran bahasa harus disajikan dalam bentuk latihan berbicara sebelum siswa diperkenalkan dengan latihan menulis. Pada tahap awal keterampilan berbahasa berbicara dan menyimak dianggap lebih penting, dan baru kemudian membaca dan menulis.

Linguistik struktural tidak terlalu memperhatikan makna. Dalam analisa bahasa, mereka tidak membentuk-bentuk yang mirip. Oleh karena itu asumsi ketiga yang disodorkan adalah bahwa tidaklah penting bagaimana makna itu diperoleh siswa. Makna itu dapat ditanyakan saja langsung kepada penutur asli.

Asumsi yang keempat menyatakan bahwa tidak perlu menyajikan gradasi dan urutan kekomplekan gramatikal pada materi yang dipelajari siswa. Asumsi ini berdasarkan kepada tesis dalam analisis struktural bahwa ahli bahasa hanya memiliki kontrol yang sedikit terhadap kekomplekan data yang diperoleh dari informannya. Apabila ahli bahasa itu menemukan data (ujaran) yang terlalu kompleks, cenderung menghindar atau dipilih dari yang tidak komplek. Dalam pengajaran bahasa mereka berpendapat bahwa struktur yang kompleks akan menyulitkan siswa dalam proses memorinya.

Salah satu alasan mengapa kaum strukturalis kurang memperhatikan makna dalam analisisnya, karena mereka berpendapat bahwa makna ini bersifat abstrak, tidak dapat diindra, dan makna ini hanya ada dalam pikiran, dan karena itu makna dianggap pula bersifat subyektif. Ilmuwan mestilah mengamati fenomena dan baru mempelajarinya. Tegasnya ilmuwan harus mempelajari apa yang bisa diamati. Sikap yang demikian melahirkan asumsi yang kelima yang menyatakan bahwa bahasa itu adalah tingkah laku dan tingkah laku dapat dipelajara dengan cara melakukan. Karena itu siswa mempelajari bahasa dengan cara melakukan respon dalam praktek-praktek latihan kegiatan berbahasa dan penguatan bagi respon yang benar. Asumsi yang terakhir ini sesungguhnya hasil dari analisis kaum psikologi behavioris. Oleh karena itu orang dapat mendiskusikan lebih lanjut tentang tehnik pengajaran bahasa melalui respon dari penguatan ini.
Asumsi-asumsi di atas terutama asumsi ketiga dan keempat banyak mengandung perdebatan di kalangan guru bahasa, sedangkan asumsi yang kelima telah diserang langsung penganut tata bahasa generatif.

Era Tata Bahasa Generatif
Chomsky sendiri menyatakan bahwa tata bahasa generatif (TG) tidak memiliki relevansi terhadap pengajaran bahasa, dan selama TG tidak tertarik akan prosedur penemuan (discovery procedures), tidak ada aspek metodologis dari TG yang dapat diimplitasikan dalam teknik pengajaran bahasa, sebagaimana metode linguistik struktural. Namun demikian banyak interes dalam pengajaran bahasa berasal dari TG yang mendasarkan pada asumsi-asumsi yang dilahirkan oleh TG.

Asumsi-asumsi ini mencakup :Pertama, bahwa guru akan memfokuskan pada pengembangan kompetensi bahasa anak daripada ke fokus pada perfomansi, walaupun kompetensi bahasa hanya dapat dikembangkan dan dinilai melalui performansinya. Asumsi ini didasari pada tujuan utama dari TG, yaitu memperoleh gambaran tentang kompetensi bahasa penutur asli. Apabila tujuan guru memfokuskan pada performansi, hal itu kadang-kadang mendatangkan hasil yang tidak menguntungkan. Siswa boleh jadi berlatih dengan pola-pola kalimat tanpa mengetahui makna apa yang dikatakannya atau tanpa menggunakan selama komunikasi yang riel. Tentu saja memang pengembangan kompetensi bahasa anak harus menjadi tujuan dalam pengajaran bahasa, bahkan sebelum munculnya TG. Pembedaan secara tegas (eksplisit) antara kompetensi dan performansi bagaimanapun menyadarkan kepada guru bahwa sejumlah performansi (baca latihan keterampilan berbahasa) yang diperoleh siswa harus diakitkan dengan tingkat pengembangan kompetensi bahasa mereka. Latihan-latihan yang intensif (performansi), tanpa menyadari makna tidak akan meningkatkan kompetensi. Dalam latihan dialog misalnya siswa memang dapat memperoleh keterampilan menghasilkan pola-pola kalimat secara sempurna dalam suatu situasi khusus. Akan tetapi kompetensi kebahasaan siswa bukan ditunjukkan oleh diperolehnya sejumlah kalimat-kalimat yang gramatikal. Kompetensi itu harus ditunjukkan oleh hanya jika siswa dapat menggunakan pola kalimat itu dalam situasi komunikasi yang riel.

Defenisi tata bahasa menurut TG yang menyatakan bahwa tata bahasa merupakan sebuah sistem kaidah yang menurunkan (menghasilkan) kalimat-kalimat gramatikal suatu bahasa, dan ide yang menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah aktivitas yang kreatif (a creative oreativity), mengantarkan kepada asumsi kedua. Asumsi kedua ini menyatakan bahwa selama bahasa adalah sebuah aktivitas yang kreatif, dalam tahap belajar manapun guru akan mengarahkan siswanya untuk kreatif menghasilkan ujaran-ujaran (kalimat) baru, daripada sekedar mengulang-ulang atau mengingat-ingat apa yang telah diperolehnya dalam belajar. Meskipun Chomsky mengidentifikasikan kaidah-kaidah TG dengan kompetensi penutur asli, kita tidak harus menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah ini secara sadar digunakan oleh penutur asli dalam menghasilkan ujaran (kalimat). Demikian juga, suatu kaidah tatabahasa tidak berimplikasi dalam pengajaran kaidah-kaidah bahasa. Akan tetapi sesungguhnya kaidah-kaidah itu adalah suatu deskripsi dari idealisasi pengetahuan penutur asli yang tersimpan dalam kesadaran dan kemudian dapat menolongnya menciptakan (menghasilkan) ujaran baru secara kreatif.

Informasi di atas menghantarkan kepada asumsi ketiga, yang menyatakan bahwa dalam berbagai tahap belajar bahasa kemampuan siswa untuk menciptakan ujaran-ujaran baru akan bertambah dengan pengetahuannya tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan ujaran.

Dalam teori TG seorang anak memperoleh kompetensinya dalam tahap awal dalam bahasa ibunya. Dalam setiap tahapan anak membentuk hipotesis tertentu tentang kode dan mengetesnya dengan ujaran yang didengarnya, sampai pada akhirnya anak mempelajari keseluruhan kode menurut pandangan ini ujaran anak yang menyimpang dari ujaran dewasa bukanlah suatu kesalahan (errors) melainkan suatu manifestasi dari sejenis kode yang telah dia kontrol dalam tahap yang bersangkutan. Apabila kita mengasumsikan bahwa belajar bahasa kedua sama dengan belajar bahasa pertama, kita dapat mengajukan asumsi yang lain untuk pengajaran bahasa yang berhubungan dengan ide kalimat inti (kernels) dan transformasi. Kita mengetahui bahwa ”Kernels” adalah struktur yang lebih kompleks. Informasi di atas mengantarkan kepada asumsi yang keempat, yang menyatakan bahwa guru bahasa akan menyajikan pertama-tama kalimat inti (kernels sentences), yang kemudian diikuti dengan kalimat transformasi, yang juga akan disusun agar dapat menambah kompleksitas kalimat, misalnya transformasi dari kalimat kernels pertama diikuti oleh kalimat transformasinya. Kalimat kernels kedua diikuti oleh kalimat transformasinya, dan demikian seterusnya.

Konsep TG yang lain adalah dibedakannya antara struktur batin (deep structures) dan struktur lahir (surface structures). Hal ini mengantarkan kepada asumsi kelima yang menyatakan bahwa guru bahasa tidak akan mengkombinasikan struktur lahir yang identik tetapi dari transformasi struktur batin yang berbeda, dalam satu latihan kalimat. Hal ini dikarenakan jika kepada siswa disajikan struktur-struktur yang identik akan mengalami kesulitan dalam mencari struktur batinnya.

Apabila manusia dilahirkan dengan kapasitas untuk memperoleh bahasa (kemampuan bawaan untuk memperoleh bahasa), siswa mempunyai kedudukan yang penting daripada guru dalam situasi belajar. Hal ini memberikan asumsi yang keenam yang menyatakan bahwa guru akan menciptakan suasana (atmosphere) yang memungkinkan digunakannya kemampuan bawaan siswa dalam belajar secara kreatif.

3. PEMANFAATAN ASUMSI-ASUMSI LINGUISTIK STRUKTURAL DAN TRANSFORMASI GENERATIF DALAM PBI

Pemanfaatan akan asumsi-asumsi dua kelompok aliran linguistik di atas dalam pengajaran bahasa didasarkan pada kajian psikolinguistik. Psikolinguistik (yang dimulai dikenal sejak tahun 1951), adalah lapangan studi sebagai sebagai kombinasi (interdisipliner) antara psikologi dan linguistik. Salah satu isu yang relevan yang dapat kita angkat dari psikolinguistik dalam kaitannya dengan pemanfaatan asumsi-asumsi linguistik struktural dan transformasi generatif adalah isu tentang pemerolehan bahasa (language acquisition).

Terdapat dua teori tentang pemerolehan bahasa: teori belajar kode-kognitif (the cognitive-code learning theory), yang dihasilkan oleh TG, dan teori pembentukan kebiasaan (habit-formation theory) dari linguistik struktural.

Dalam memanfaatkan asumsi-asumsi dan model pemerolehan bahasa di atas guru harus membuat beberapa catatan pertimbangan pemanfaatan:
(1) Jika pemerolehan bahasa adalah suatu pembentukan kebiasaan (habit formation), guru bahasa harus menyusun program secara konkret. Jika hal ini yang dipilih maka beberapa kegiatan yang perlu dilakukan antara lain:
a. mintalah kepada siswa agar meniru model yang disajikan guru
b. berikan pola-pola latihan (pattern drill), untuk menyatakan kebiasaan bertingkah laku (habit of behaviour)
c. berikan kepada siswa penguatan (reinforcement) untuk respons (jawaban) yang benar dan kurangi (hilangkan, eliminate) respons yang salah, dan
d. biarkan siswa belajar secara induktif, menafsirkan kaidah-kaidah yang telah dipelajarinya.

(2) Sebaliknya apabila pemerolehan bahasa adalah belajar tentang kode (a matter of cognitive learning code), guru bahasa harus menjamin bahwa siswa mampu menginternalkan (internalized) kaidah-kaidah yang memungkinkan siswa mampu menghasilkan kalimat. Penjelasan mengenai struktur kalimat dan pengetahuan tentang kaidah harus ditempatkan dalam skala aturan yang luas dalam pengajaran bahasa.

Tentu saja dalam setiap teori terdapat kekuatan dan kelemahan. Kelemahan dari pembentukan kebiasaan (habit formation) antar lain adalah bahwa siswa tidak dilatih menggunakan kalimat (struktur) dalam situasi komunikasi yang aktual. Namun kekuatannya juga ada, yaitu antara lain bahwa penguasaan akan kaidah-kaidah yang dipelajari oleh siswa sangat kecil. Kelemahan dari teori belajara kode (learning code), bahwa dalam kenyataannya kaidah-kaidah (kode) bahasa itu tak terbatas jumlahnya, dan kemampuan memperoleh kalimat yang benar sangat tergantung kepada lingkungan berbahasa siswa (berbagai macam variasi, laras, dan register). Kekuatan teori ini antara lain adalah bahwa pengetahuan tentang fakta (bahasa) dan kaidah formal bahasa dapat secara nyata menolong mengarahkan siswa untuk membentuk kalimat yang baik (baku).

(3) Sehubungan dengan kelemahan dan kekuatan kedua teori belajar bahasa di atas, J.B. Carol (1971), mengajukan sintesa kedua teori belajar tersebut yang diberi nama teori pembentukan kebiasaan kognitif (cognitive code learning). Menurut teori Carol ini belajar bahasa adalah rangkaian antara latihan-latihan menguasai pola-pola dan sekaligus menciptakan kondisi belajar yang kondusif agar pola-pola itu terinternalisasikan dalam kesadaran siswa. tahap berikutnya siswa didorong untuk mampu menghasilkan kalimat baru. Internalisasi dan pembentukan kalimat baru saja, tidak cukup. Tahap berikutnya menurut Carol, siswa harus diterjunkan dalam situasi komunikasi riel seperti yang terjadi pada penutur asli.

Tiga cara pemanfaatan di atas, masih dapat didiskusikan lebih lanjut, lebih-lebih jika sudah berkaitan dengan penyusun perangkat bahan atau materi ajarnya. Namun tinjauan singkat selayang pandang ini bisa juga dipandang sebagai rambu-rambu dalam peningkatan PBI.





DAFTAR PUSTAKA

Carrol, J.B., Current Issues in Psycholinguistics and Second Language Teaching TESOL Quarterly, 1971.
Chomsky, N., Aspects of the Theory of Syntax, Cambridge, Mass. M.I.T. Press, 1965.
--------------., Linguistictheory, In Mead, Robert G (ed) Language Teaching Broader Contexts, New York. MPA Materials Centre, 1966.
Gleason, H.A., An Introduction to Descriptive Linguistics, New Yourk. Holt Rinehart and Winston, 1961.




Mengenai Saya

Foto saya
Dosen tetap pada FKIP Universitas Bengkulu; konsultan pendidikan; pendiri the Education Development Center Indonesia; Pengelola Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bengkulu