Jumat, 15 Agustus 2008

FEMINISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Agus Trianto

Our problem today is not that men and women are unequal, but that there are hardly any true men or true women left in the world” (Murata, 1992)


Berbicara tentang feminisme pasti menyangkut gender. Berbicara tentang gender adalah berbicara tentang laki-laki dan perempuan. Saya agak sungkan berbicara tentang feminisme semata, seakan saya berpihak pada satu gender. Keberpihakan semacam ini akan menelurkan perdebatan yang menyebalkan. Menyebalkan karena menghasilkan dikotomi eksklusif, bukan mitra tapi oposan, bukan kawan tapi lawan. Padahal laki-laki dan wanita harus bersatu, bersama mengarungi hidup lebih bermakna dalam hubungan interdepedensi yang harmonis. Untuk itu lah saya kiranya berbicara bukan dalam konsep feminisme semata dalam pengertian gender, fisik tetapi konsep yang lebih berkarakter, bukan soal gender tapi mutu manusia.

Feminisme dalam perspektif Islam adalah pengaturan hak dan kewajiban wanita sesuai dengan fiqh perempuan yang bersumber kepada Al Quran dan hadits, “..kembalikanlah kepada Allah (Quran) dan Rasul-Nya (Hadits)” (QS an-Nisaa: 59). Jika ingin membuat ijtihad, penafsiran baru dasar pijakannya tetap Quran dan Hadits, serta lebih berupaya memahami dan menghindari keberpihakan. Dalam konteks ini, saya akan mencoba mengurai konsep feminisme dan maskulinisme berdasarkan kajian kosmologi dan teologi Islam (Murata, 1992; Megawangi, 1999).

Sosok Ideal Insan Kamil
Pembedaan antara laki-laki dan perempuan sangat jelas ditujukan untuk kehidupan bermasyarakat dalam tataran sosial (tataran fisik), bukan tataran batin. Tidakkah laki-laki itu sama dengan perempuan (Ali Imran: 35) dalam tataran batin. Persamaan derajat di mata Tuhan pria dan wanita sama, yaitu inna akromakum indallahi atqookum (Al Hujuraat:13). “Barang siapa beramal saleh, apakah laki-laki atau perempuan, dan ia beriman, maka niscaya akan Kami hidupkan ia dengan kehidupan yang sangat baik (Al-Nahl:97). Penjelasan secara kosmologis dan teologis adalah sebagai berikut.

Di alam ini terdapat keseimbangan yang terdiri dari maskulin dan feminin, yin dan yang dalam kosmologi Cina. Di dalam filsafat teologi Islam dikenal dualitas--Dan segala-galanya Kami ciptakan serba berpasangan agar kamu dapat merenungkan kekuasaan Kami (Adz-Dzaariyaat:49); “Dia menciptakan pasangan, pria dan wanita” (An-Najm:45)--jalal dan jamal (Keagungan/Keindahan); Lutft/Qahr (Kelembutan/Kekerasan; Rahma/Ghadab (Pengasih/ Kemurkaan); termasuk ciptaan-Nya: langit/bumi, atas/bawah, raja/abdi, cahaya/gelap, feminin/maskulin, dan patriarkat/matriarkat. Dualitas ini selalu ada baik dalam tataran Ilahiah, kosmos, maupun tataran manusia yang semuanya menuntut keseimbangan. Tuhan adalah keseimbangan antara nama-namanya yang Jalal (patriarkat) dan Jamal (matriarkat). Konsep keseimbangan dalam Islam melahirkan kamal, insan kamil, insan sempurna. Artinya, pada diri gender baik dia laki-laki maupun perempuan memiliki kedua sifat itu: yin dan yang, jalal dan jamal, maskulin dan feminin.
Sosok perempuan ideal adalah sosok insan kamil, yakni yang bisa menyatukan sisi jamal dan jalal. Insan kamil itu tujuan hidup di dunia. Dalam buku The Tao of Islam karya Sachiko Murata, dikatakan bagaimana wanita itu menjadi wanita feminin positif yang merendahkan diri di hadapan Tuhan. Manusia (laki-laki dan perempuan) mempunyai sifat maskulin negatif dan feminin negatif. Maskulin negatif, kalau sudah berkuasa akan menindas serta sifat-sifat lain seperti syirik, ingin menyamai Tuhan. Sedangkan feminin negatif apabila seseorang tidak mampu melawan nafsu-nafsu rendah. Feminin itu pasif, bisikan apa saja akan dituruti.

Supaya menjadi feminin positif maka berserah diri lah kepada Tuhan. Itu secara batin, spiritual. sedangkan dalam struktur kemasyarakatan seseorang itu bisa tawakal dan merendahkan diri apabila ada sistem yang memiliki hierarkis. Kalau semuanya sejajar (equal) maka ia merendah kepada siapa? Jadi sistem hirarkis itu harus ada, dan kenyataannya memang begitu. Tuhan menciptakan itu dengan maksud agar manusia saling berkasih sayang. Kasih sayang harus diberikan karena rahmat Allah turun mendahului murka-Nya. Karena ia menjadi abdi dahulu baru menjadi wakil (khalifah) Tuhan.

Kalau anak menjadi feminin positif akan hormat kepada orang tuanya, istri menjadi feminin positif akan menghormati suaminya , laki-laki juga menjadi feminin positif tentu mereka akan hormat kepada atasannya; semuanya akan menghormati yang maha, Tuhan. Dengan feminin positif kita dapat bersikap kasih kepada orang miskin.

Di samping itu ada pula sifat maskulin positif. Sifat ini merupakan tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia laki-laki dan perempuan. Wanita yang mencapai maskulin positif jika sebagai ibu akan menjadi pimpinan bagi anak-anaknya serta mencurahkan kasih sayang dan arahan yang baik kepada anak-anaknya. Dan si laki-laki pun melindungi istri dan anak-anaknya. Jadi, maskulin postif itu bukan bersifat menindas, tetapi mengayomi sehingga terjadilah keseimbangan antara antara feminin positif dan maskulin positif, dan terjadi lah keharmonisan dan mencapai kamal (kesempurnaan).

Untuk mencapai kualitas kamal tertinggi, menurut Murata, manusia pertama kali harus mentransformasikann dirinya sebagai yin/jamal/feminin positif, yaitu kualitas yang mengakui dirinya rendah, tidak berlaku sombong, dan tidak pernah meninggikan dirinya. Ini berarti seseorang mengakui ada yang lebih tinggi di luar dirinya, mengakui adanya unsur patriarkis atau hirarkis dalam kehidupan. Jadi sifat yang/jalal/maskulin Tuhan dapat terinternalisasi pada manusia kalau manusia telah menjadi hamba (yin/jamal/feminin positif). Setelah menjadi yin positif, manusia akan berjuang untuk mengalahkan nafsu-nafsu negatifnya (menjadi penguasa yang mengontrol nafsu-nafsu rendahnya). Dan ini adalah awal dari diraihnya sifat yang positif, yaitu sifat manusia yang telah mencapai nafsu mutma’innah. “Hai jiwa yang mutma’innah. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Al-Fajr:27-30).

Penafsiran seperti di atas dapat menerangkan pula mengapa banyak kaum wanita juga dapat berperilaku maskulin negatif, yaitu suka menindas, sombong, melakukan kekerasan. Persaingan dan intrik yang dilakukan wanita sama culasnya dengan apa yang dilakukan kaum pria. Banyak anak yang disiksa atau ditelantarkan oleh para wanita (ibunya sendiri), atau para pria yang dianiaya (terutama aspek emosional; ingat olok-olok pria anggota “ISTI”) oleh istrinya, atau pembantu rumah tangga yang disiksa oleh nyonya rumah. Hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori feminisme lainnya yang hanya terpaku pada aspek eksternal gender (lahiriah) saja.

Pengertian patriarkat/maskulin positif sebagai kualitas yang harus diraih oleh seluruh manusia, diperkuat oleh seorang guru sufi kontemporer Bawa Muhaiyaddeen (1997): “sebagian besar manusia di dunia ini adalah “wanita” (dalam pengertian batin, yin/feminin negatif), dan hanya sedikit “pria”, karenanya yang banyak masuk neraka adalah “wanita”. Untuk mencapai surga, para “wanita” ini harus mentransformasikan dirinya menjadi “pria”, yaitu manusia sejati yang telah bertemu Tuhannya. Ini juga dapat menerangkan hadits Rasulullah yang dianggap sahih, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat seorang perempuan sebagai pemimpin mereka”. Juga akan memahami jika kaum laki-laki menjadi qawwam (pemimpin; pelindung dan pembimbing) atas kaum perempuan (An Nisaa: 34).
Feminisme Radikal sebagai Perbandingan
Hampir setengah abad lalu, Simone de Beauvior—filsuf eksistensialis wanita, kawan kumpul kebo Jean Paul Sartre sang pangeran filsafat eksistensialis—menulis buku Le Deuxieme Sex (The Second Sex de Beauvoir) yang menjadi inspirasi kaum feminis radikal untuk membuang lembaga perkawinan dan memperjuangkan kebebasan seksual. Buku ini juga menganjurkan wanita untuk tidak kawin jika ingin maju dalam karirnya.

Aliran feminisme radikal memang cenderung antikeluarga karena keluarga yang umumnya bersistem patriarki dianggap sebagai sarana penindas dan pembelenggu wanita. “The most oppresioned people in this world is mother”, kata kaum feminis. Mereka membuat opini, seorang ibu yang mengerjakan pekerjaan rumah saja adalah kelompok yang ditindas, pekerjaan hina. Mereka menyarankan mennggalkan pekerjaan itu dan mencari pekerjaan di luar rumah, bersaing dengan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Wanita sebagai ibu diremehkan, dan ini melanggar sunatullah.

Yusuf Qardlawi dalam bukunya Islam wa Khadaratul Ghad (Islam Peradaban Masa Depan) melihat betapa tuntutan kaum feminisme bagi terwujudnya “persamaan hak antara pria dan wanita” berujung pada kondisi yang menyedihkan. Di negara-negara Skandinavia yang telah “sukses” meruntuhkan struktur patriarki yang menjadi basis dari institusi keluarga konvensional—sesuai dengan cita-cita feminisme radikal—terjadi angka perkawinan yang rendah, frekuensi kumpul kebo tinggi; perpecahan keluarga, anak dilahirkan dari luar perkawinan, angka keluarga single parent (OT Tunggal), dan angka perempuan yang bekerja semuanya tinggi. Selain itu timbul tuduhan bahwa feminisme telah merusak keluarga, sebab secara teori feminisme modern adalah anti keluarga. Antara 1963 dan 1975 angka perceraian di AS telah melonjak sebesar 100% (Megawangi, 1996). Sejak 1950 jumlah anak yang lahir dari pasangan kumpul kebo melonjak nyaris 400%; dan hampir sepertiga anak yang dilahirkan orang kulit putih lahir di luar nikah; lebih dari setengah bayi kulit hitam juga lahir di luar nikah (Time, 9/11/81). Feminisme berangkat dari peradaban materialisme maka ukuran kesuksesan seorang wanita juga berbeda. Tingkat kesuksesan eksistensi wanita diukur dari kekuasaan (power) yang dikendalikannya, materi atau uang yang dihasilkan dari pekerjaannnya, dan juga ketenaran (fame) yang dimilikinya. Ini adalah peradaban materialistik yang bersifat maskulin.

Di alam ini terdapat keseimbangan yang terdiri dari maskulin dan feminin, yin dan yang. Di dalam Islam istilahnya jalal dan jamal. Konsep keseimbangan dalam Islam melahirkan kamal, insan kamil, insan sempurna. Namun bagi kaum feminis, yang jalal, maskulin atau kekuasaan itu yang lebih kerap jadi orientasi dirinya. Wanita akhirnya juga terperangkap pada sistem yang demikian. Dia baru merasakan eksistensi dirinya kalau sudah masuk ke dunia publik, dunia maskulin. Dia dapat uang, dapat karir, dan dapat segala macam. Nah, yang bukan materi. seperti kasih sayang dianggap sikap yang aneh, yang tidak menunjang keberhasilan dunia maskulin. Akhirnya hal nonmateri itu dianggap kecil artinya. Ini merupakan masalah manusia, bukan masalah wanita saja.

Sekarang para wanita—juga para “feminis muslimah”—mulai masuk kedunia maskulin dengan cara teologi feminisme yang ingin merombak semua penafsiran fiqh perempuan. Fiqh perempuan dinilai melanggengkan sistem bahwa perempuan itu harus di rumah, harus jadi ibu, harus jadi pengasuh yang lemah, harus dilindungi, penuh kasih sayang dan penuh pengorbanan.
Sehingga timbullah gerakan atau teologi feminis yang ingin mengubah semua penafsiran itu menjadi seolah-olah Quran atau Islam itu bukan begitu pengertiannya. Kesetaraan yang mereka inginkan adalah kesetaraan aspek maskulin atau materialistik. Akibatnya yang terjadi adalah ketidakseimbangan. Tubuh yang tidak seimbang akan sakit, demikian juga masyarakat yang tidak seimbang akan sakit.

Susan Gordon dalam The Prisoner of Men’s Dream merasa dikhianati kaum feminis. Ia menjadi aktivis feminis karena percaya akan slogan feminisme bahwa masuknya wanita ke dunia maskulin (men’s world) dapat mengubah dunia menjadi lebih damai. Ternyata yang ia dapatkan keadaan dunia makin rusak, karena wanita telah masuk ke dalam perangkap sistem patriarkis dan menjadi sekedar male-clone (Megawangi, 1996). Mengambil alih kekuasaan tiran dengan cara menjadi tiran baru. Sejalan dengan ini maka muncullah gerakan ekofeminisme yang mengajak para perempuan untuk bangkit melestarikan kualitas feminin agar dominasi sistem maskulin dapat diimbangi, sehingga kerusakan alam, dekadensi moral yang semakin mengkhawatirkan dapat dikurangi. Di samping itu muncul pula gerakan kaum wanita yang menandingi gerakan feminisme egalitis yang mengingkan dipertahankannya nilai-nilai keluarga. Dengan kata lain, wanita tidak dapat diperlakukan sama dengan pria (kecuali untuk wanita yang hidup sendiri dan tidak memiliki anak), jika disamakan maka akan ada “ongkos” sosial yang harus dibayar yaitu runtuhnya tatanan nilai keluarga dan runtuhnya masa depan bangsa (Megawangi, 1999). Gerakan tersebut misalnya New Right Movement, Feminin-Anti Feminist League, The League of Housewives, The National Pro-Familiy Coalition.

Pengakhiran
Dalam beragama kita diajar pertama kali mengenal kewajiban. Jika kita berbicara tentang kewajiban maka otomatis mencakup pula tentang hak. Kewajiban suami terkait dengan hak istri; kewajiban istri terkait dengan hak suami; kewajiban orang tua terkait dengan hak anak; kewajiban anak terkait dengan hak orang tua; kewajiban keluarga terkait dengan hak masyarakat; kewajiban masyarakat terkait dengan hak keluarga; demikian seterusnya. Pemenuhan kewajiban akan menyebabkan terpenuhinya hak-hak individu dan masyarakat. Ini terkait pula dengan ajaran agama “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Kewajiban adalah praktik tangan di atas, memberi. Memberi dalam Islam harus dengan ikhlas. “Laksanakan kewajibanmu, dan mintalah kepada Allah yang kamu perlukan” (HR Bukhari dari Ibnu Mas’ud). Bayangkan jika setiap orang hanya berpikir untuk bagaimana memberi yang terbaik.

Budi munawar Rahman, seorang feminis, mencoba menafsir ulang tafsir-tafsir Al Quran “kuno” yang dianggap male-biased dalam bukunya Persfektif Gender berkomentar sinis, “Selalu saja secara klasik di kitab-kitab lama dibahas stereotype: keluarga sebagai pemerintahan terkecil adalah unsur penyangga keluarga besar yakni masyarakat dan stabilitas keluarga menentukan stabilitas masyarakat.

Padahal sebagai muslim terhadap Quran kita tidak boleh gampang curiga, meski tetap menjaga sikap kritis dan kreatif. Sikap kritis dan kreatif ini untuk menggali kebenarannya dan bukan sebaliknya mempertanyakan kebenarannya. Sebab tidak mungkin ajaran Islam disusupi ajaran yang bathil, salah dan sesat. Al Quran terbebaskan dari segala penyusupan. “Dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak dihinggapi kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS Fush-shilat: 42). Kata “dari depan” ini menyiratkan pandangan sangat jauh ke depan yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh manusia jaman kini, apalagi Allah itu sendiri “penguasa hari kemudian” (QS Fatihah:4). Kata “dari belakang” menyiratkan suatu refleksi sejarah hidup manusia yang sebenarnya, bukan manipulasi.

Semoga Allah selalu menunjuki kita jalan yang lurus dan diridlai-Nya. Amin.

RUJUKAN
Al Quran dan terjemahannya. Depertemen Agama RI.

Gordon, Suzazane. 1991. Prisoners of Mens’ Dreams: Striking Out for A New Feminine Future.
Boston: Little Brown & Co.

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Jakarta: Mizan

Muhaiyaddeen, Bawa. 1977. To Die Before Death. Philadelphia: Fellowship Press.

Murata, Sachiko. 1992. The Tao of Islam. New York: SUNY Press.

Republika, “Majikan Penganiaya Lima PRT Ditangkap”, 30 Oktober 1997.

Time, 9 November 1991.
(Disampaikan pada Kajian Kritis Muslimah “Feminisme dalam Perspektif Islam”, UKM Rohis UNIB tanggal 1 Juni 2000)

1 komentar:

RIKI RIKARDO mengatakan...

Padahal di dlm Islam,
derajat wanita (ibu) justru di atas pria.
Sungguh statement lucu bila gender "wanita" dianalogikan di bawah pria.
Sungguh sempit rasanya bila para pemikir non-muslim memandang Islam dari terbitan novel dan kisah tragis perempuan di negara-negara yang diperlakukan muslim dengan semena-mena yang menjamur di pasaran seperti The Princess, Daughter of Arabia, Beyond The Veil, Without Mercy dan masih banyak lagi. (its just fictive not realistic)..
di berbagai belahan manapun dan masa kapanpun jika bentuk tuntutan seperti persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, hanya seksis, biologis dan rerpoduktiflah yang membedakan keduanya.
Sungguh Al Qur'an dan Hadits sudah sempurna utk menjawab permasalahan derajat(taqwa) seorang muslim(baik pria/wanita) di mata Allah.

Mengenai Saya

Foto saya
Dosen tetap pada FKIP Universitas Bengkulu; konsultan pendidikan; pendiri the Education Development Center Indonesia; Pengelola Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bengkulu