Agus Trianto
1. Pendahuluan
Pada hakikatnya manusia selalu ingin mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya dan menyebarluaskan apa yang telah diketahuinya. Untuk itu manusia selalu ingin berkomunikasi dengan sesamanya. Media komunikasi yang paling penting adalah bahasa. Dengan demikian, kemampuan berbahasa menjadi bagian penting untuk dapat berkomunikasi dengan baik.
Salah satu tujuan berkomunikasi adalah menyampaikan informasi (gagasan/pesan/ amanat) kepada sasaran komunikasi. Untuk dapat mendukung tujuan terseebut dibutuhkan kemampuan menggunakan kata-kata secara cermat. Kemampuan ini ditandai dengan kemampuan mencari ungkapan-ungkapan yang tepat untuk suatu konsep tertentu atau dalam konteks-konteks tertentu.
Pengetahuan tentang kesinoniman kiranya dapat menunjang kemampuan di atas karena sesungguhnya kesinoniman merupakan sumber yang sangat berharga bagi setiap penulis (Ullman, 1983: 151). Jika hal ini dikaitkan dengan pemasukan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia maka guru juga perlu mengajarkan kesinoniman, dalam hal-hal praktis, untuk membantu meningkatkan kemampuan pragmatik siswanya.
2. Kesinoniman
Pada umumnya sinonim diartikan sebagai ungkapan-ungkapan yang mempunyai arti sama. Lyons (1981: 50) berkeberatan dengan definisi tersebut karena dapat memberikan kemungkinan bahwa suatu leksem simpleks dapat mempunyai arti yang sama dengan suatu leksem kompleks.
Verhaar (1982:132) membedakan kesinoniman menurut taraf di mana bentuk tersebut terdapat, yaitu pada antarmorfem, antarkata, antarfrasa, dan antarkalimat. Pertanyaan yang dapat diajukan terhadap pembedaan tersebut adalah: (a) Apakah itu berarti juga ada kesinoniman antarwacana?; (b) Apa tidak mungkin suatu kata bersinonim dengan suatu frasa atau bahkan kalimat?; (c) Bagaimana menguji kesinoniman dalam antarfrasa, antarmorfem, atau antarkalimat? Pembedaan seperti ini mungkin saja ada tetapi tentunya perlu adanya penjelasan yang memadai. Oleh karena itu dalam tulisan ini hanya dibahas tentang kesinoniman yang terdapat dalam antarleksem (antarkata).
Dalam kenyataan berbahasa, dua leksem yang memiliki arti yang persis sama memang amat jarang kecuali dalam persitilahan. Sehubungan dengan hal itu dibedakan antara sinonim mutlak dengan near-synonym ‘sinonim dekat’ atau homoionym, pseudo-synonym. Sinonim dekat berarti ungkapan-ungkapan yang mempunyai arti lebih kurang sama, tetapi tidak identik (Lyons, 1981:50).
Lyons memakai istilah partial synonymy ‘kesinoniman separa’ untuk sinonim dekat. Perbedaan antara sinonim mutlak dengan sinonim separa ditentukan oleh syarat-syarat sebagai berikut (Lyons, 1981:50-51): (a) sinonim itu bersinonim penuh (full), jika dan hanya jika semua artinya identik atau memiliki tingkat arti yang sama; (b) sinonim itu bersinonim keseluruhan (total), jika dan hanya jika, bersinonim dalam semua konteks atau tingkat kekolokasian ungkapan; (c) sinonim itu bersinonim sempurna (complete), jika dan hanya jika, identik pada semua dimensi arti yang relevan atau leksem tersebut mengandung makna deskriptif, ekspresif, dan sosial yang sama. Sinonim mutlak adalah ungkapan-ungkapan yang bersinonim penuh, keseluruhan, dan sempurna sedangkan sinonim separa adalah sinonim yang bukan sinonim mutlak.
Syarat-syarat di atas sebenarnya mengisyaratkan bahwa sebenarnya tidak ada dua kata yang benar-benar bersinonim. Hal ini dikemukakan Palmer (1981:89-91) dengan memberikan cara-cara melihat perbedaan yang terdapat dalam sinonim. Perbedaan di antara sinonim dapat juga disebut sebagai sebab-sebab terjadinya sinonim, yaitu: (a) akibat perbedaan dialek, misalnya warung yang banyak dipakai di Jawa dan kedai untuk daerah Sumatera; (b) karena adanya berbagai laras bahasa yang ditentukan oleh pemakai bahasa dan bidang pemakaian, seperti mangkat untuk raja dan meninggal untuk orang biasa, evaluasi yang dipakai di bidang pendidikan untuk penilaian; (c) karena konotasi, beberapa kata bersinonim tetapi berbeda karena nilai rasa/arti emotif/arti evaluatif, misalnya babu yang karena mempunyai nilai rasa tertentu muncul sinonimnya, yaitu pramuwisma; (d) terjadi pembatasan karena kolokasi, sinonim yang muncul secara sintagmatis atau berdampingan yang dianggap wajar oleh kaidah kolokasi, misalnya ayu, anggun, cantik untuk wanita berdampingan dengan kacak, lampai, tampan untuk pria; (e) banyak kata yang mempunyai arti begitu dekat atau arti kata tersebut tumpang tindih, misalnya kata bagus dengan indah, perintah dengan suruh, cantik dengan molek/anggun/ ayu/comel. Cara lain untuk melihat perbedaan antarkata yang bersinonim adalah dengan menyusunnya ke dalam suatu seri sehingga terlihat keperbedaan artinya, misalnya dalam pecah, hancur, remuk, luluh, lebur (Ullman, 1983:144).
Untuk menentukan dua atau lebih kata itu bersinonim satu sama lain diperlukan suatu cara menguji kesinoniman antarkata. Cara yang pertama adalah dengan penyulihan (substitution), yaitu dengan menyulihkan suatu kata dengan kata yang lain. Jika dalam penyulihan didapat informasi yang sama dan tetap wajar maka dapat dikatakan sinonim. Jika kata bagus dapat saling menyulihkan dengan kata indah dalam rumpang rumah itu …. maka bagus dan indah dapat dianggap sinonim. Cara yang kedua adalah dengan mencari “lawan kata” dari dua atau lebih kata yang dianggap sinonim. Pintar dan pandai dianggap sinonim karena keduanya dapat “dilawankan” dengan bodoh. Cara ketiga adalah dengan melihat perbedaan dalam konotasi (arti emotif). Staf, karyawan, buruh, dan kuli mengacu kepada denotata yang sama tetapi masing-masing mempunyai konotasi yang berbeda, itu berarti kata-kata tersebut dapat dianggap sinonim (Palmer, 198:91-93).
3. Konotasi
Dalam pembicaraan tentang kesinoniman di atas, istilah konotasi telah dua kali disinggung. Pembicaraan mengenai konotasi cukup menarik jika dikaitkan dengan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Tujuan utama pengajaran Bahasa Indonesia adalah agar siswa dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Hal ini ditunjang dengan dimasukkannya pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Pragmatik ditentukan oleh, salah satunya, ada tidaknya konotasi sebab konotasi lebih banyak berkaitan dengan pemakaian bahasa. Konotasi terjadi karena interaksi antara suatu satuan bahasa dengan subjektivitas (pertautan pikiran atau perasaan) pemakai bahasa.
Wilayah penerapan konotasi berbeda karena perbedaan pemakai bahasa. Pemakai bahasa di sini meliputi perseorangan, kelompok, atau masyarakat. Kata kamu bagi pemakai bahasa di Jawa pada umumnya berkonotasi negatif, sedangkan bagi pemakai bahasa di daerah Sumatera pada umumnya dapat berkonotasi positif atau hormat atau paling tidak netral.
Satuan bahasa yang mengacu kepada hal-hal yang bersifat pribadi, seperti soal pembiakan dan hal-hal yang berhubungan dengan pencernaan, biasanya sarat dengan konotasi. Hal ini terjadi karena pemakai bahasa ingin atau lebih suka mengungkapkan sesuatu yang bersifat pribadi secara pribadi atau khusus. Apabila ungkapan khusus tersebut lambat laun menjadi umum, maka pemakai bahasa cenderung untuk mencari ungkapan lain untuk acuan yang sama. Misalnya untuk kata bersetubuh, kata lain yang muncul setelah itu adalah bersanggama, hubungan kelamin, bersebadan, dan sambung raga. Konotasi juga terjadi karena pertautan satuan bahasa dengan status atau strata sosial tertentu, seperti dalam babu, pembantu rumah tangga, dan pramuwisma.
Konotasi dalam pengajaran bahasa setakat kini biasanya disamakan dengan kiasan atau majas. Hal ini disebabkan kesalahpengertian terhadap pengertian konotasi. Banyak buku-buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SLTP atau SMU dan buku-buku kebahasaan lainnya yang memberikan pengertian konotasi sebagai makna tambahan/sampingan (Rumadi & Barung, 1989:2; Suparni, 1988:134; Pateda, 1986:62). Pengertian makna tambahan inilah yang mungkin menyesatkan. Penambahan ini bukannya penambahan makna (konsep). Dalam kenyataannya, penambahan ini berupa pemindahan makna (konsep), seperti contoh yang terdapat dalam buku-buku tersebut: kutu buku = rajin membaca, makan garam = banyak pengalaman, amplop = uang sogok, dan kursi = jabatan/kedudukan.
Salah satu buku yang cukup berwibawa dan banyak dipakai oleh para guru sebagai acuan, yaitu buku Pengajaran Semantik oleh Tarigan (1980), ternyata juga masih terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dalam hal ini yang berkaitan dengan konotasi. Penulis ini setuju dengan pengertian konotasi yang merupakan responsi-responsi emosional yang timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan para pemakainya (Tarigan, 1980:56-81). Pada pembicaraan selanjutnya Tarigan menyebut makna konotatif sebagai makna tambahan yang dinyatakan secara tidak langsung oleh kata tersebut. Yang dapat dicatat dari kedua pengertian itu adalah bahwa kedua pengertian tersebut mengacu kepada dua hal yang berbeda, yang satu berhubungan dengan pemakai bahasa yang lainnya dengan kata itu sendiri. Kesimpangsiuran pengertian mengenai onotasi tersebut tergambar juga melalui contoh-contoh yang diberikannya. Kata langsing dan kurus diuraikan konotasinya tetapi kurang diperhatikan bahwa langsing dan kurus mengacu kepada denotata yang berlainan. Pengalihan denotata semacam ini berhubungan dengan pembicaraan tentang majas. Hal yang sama tergambar dalam pembicaraan ragam konotasi berbahaya, dengan contoh-contoh seperti pencuri = panjang tangan, tikus = putri, hantu = nenek, raja hutan = singa, dan lain-lain.
4. Kesinoniman dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pengajaran Bahasa Indonesia, seperti yang tercantum dalam Kurikulum 1994, adalah untuk mengembalikan pengajaran Bahasa Indonesia kepada fungsi komunikasi. Oleh karena itu, orientasi belajar-mengajar harus didasarkan pada tugas dan fungsi komunikasi.
Pengajaran secara pragmatik merupakan perwujudan konsep tujuan pengajara seperti tersebut di atas. Pemasukan pragmatik dalam Kurikulum 1994 dimaksudkan untuk menajamkan pengertian tentang keterampilan berbahasa yang selama ini hanya diartikan secara umum dengan berbicara, menyimak, menulis, dan membaca.
Pengertian pragmatik, menurut Levinson (1983), adalah kajian pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang digunakan dengan konteksnya. Pragmatik merupakan suatu keterampilan menggunakan bahasa dalam berbagai situasi untuk berbagai keperluan (Nababan, 1983). Jika fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik mempelajari struktur bahasa secara internal maka pragmatik mempelajari unsur-unsur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996). Dalam hal pengkajian makna bahasa, pragmatik dan semantik memiliki kedekatan pengkajian di samping juga adanya perbedaan. Perbedaan tersebut adalah
Pengetahuan tentang kesinoniman memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan yang sesuai dengan situasi dan konteks pembicaraan atau penulisan. Dalam hal lain, pengetahuan kesinoniman akan memungkinkan siswa membuat variasi dalam menginformasikan sesuatu.
Berdasarkan hal di atas, cukup beralasan jika guru memperhatikan kesinoniman sebagai salah satu penunjang pengajaran pragmatik. Dalam pengajaran di kelas, kesinoniman tudaklah harus diajarkan secara khusus tetapi dapat mengikut dalam materi yang lain, misalnya pragmatik atau keterampilan berbahasa yang lain. Pengetahuan kesinoniman dan bagaimana menggunakannya untuk mengungkapkan gagasan/konsep yang sesuai atau sebagai variasi diksi diajarkan melalui (a) tugas pencarian sinonim sejumlah kata dengan jumlah yang tida terlalu banyak tetapi berkesinambungan dan (b) melatih menggunakan kata-kata yang bersinonim dalam kalimat dengan tujuan membiasakan siswa mengungkapkan gagasan atau informasi dengan kata yang tepat.
Cara mengajarkan kesinoniman seperti di atas bertujuan mengupayakan siswa untuk lebih banyak beraktivitas. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman belajar yang diterima siswa bersifat langsung dan bukan karena lebih banyak diberitahu guru, walaupun guru wajib menjelaskan keterangan yang meragukan siswa.
5. Penutup
Kemampuan guru mengembangkan pengajaran secara kreatif akan membangkitkan minat dan gairah siswa, dan ini amat menentukan keberhasilan pengajaran. Apa pun materinya, apa pun metodenya jika siswa tidak berminat pelajaran akan berjalan dengan kaku dan membosankan.
Pengajaran kesinoniman yang selama ini lebih banyak memperhatikan kata-kata yang diserap dari bahasa asing yang kemudian dicarikan sinonimnya dalam Bahasa Indonesia sebaiknya dikurangi, kalau perlu dihindari, karena hal ini akan mengurangi sikap positif siswa terhadap Bahasa Indonesia. Untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap Bahasa Indonesia, salah satunya, adalah dengan cara menghadapkan siswa kepada kenyataan bahwa kosa kata Bahasa Indonesia itu begitu kaya, misalnya dalam pengungkapan cara.
Guru tidak perlu mengajar tentang kesinoniman tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana menggunakan kesinoniman dalam berbahasa yang sesungguhnya. Dengan kata lain, guru berupaya agar pemahaman tentang kesinoniman dapat memberikan manfaat bagi siswa untuk dapat menggunakan kata-kata secara cermat, yang pada tahap selanjutnya dapat membantu siswa menajamkan keterampilan berbahasanya.
Daftar Pustaka
Kemposon, Ruth, M. 1977. Semantic Theory. Cambridge: Cambridge UP.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge UP.
Lyons, John. 1981. Language, Meaning, and Context. London: Fontana.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik, Teori dan Penerapannya. Jakarta: P2LPTK.
Palmer, F.R. 1981. Semantics. Cambridge: Cambridge UP.
Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Ende-Flores: Nusa Indah.
Suparni. 1988. Penuntun Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Ganeca Exact.
Tarigan, Henry G. 1980. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.
Ullman, Stephen. 1983. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. London: Basil Blackwell.
Verhaar, J.W.M. 1982. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar