Senin, 08 Desember 2008

BERHENTILAH MENJADI GELAS, JADILAH DANAU

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.

"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu." Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.

"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, "Bagaimana rasanya?"

"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"

"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Tuhan, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah."

Si murid terdiam, mendengarkan.

"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau."
(dj.hand.IndoMp3z)


MANA LEBIH PRIORITAS, BERMUTU ATAU SEJAHTERA?

Dalam melaksanakan tugas, sebagai guru misalnya, kita sering dihadapkan pada dua opsi yang sebenarnya bukan untuk dipilih mana yang menjadi syarat dan akibat. “Saya mau dan bisa bermutu kalau sudah sejahtera”, kata seorang guru. “Tidak mungkin kita bisa menjadi guru yang bermutu kalau hidup kita belum sejahtera”, tambahnya.

Sepertinya pernyataan ini benar. Namun kalau kita renungkan, bermutu dan sejahtera adalah dua kondisi seperti pada mata uang yang saling berkaitan erat. Mengapa demikian? Orang-orang bermutu pada umumnya hidup sejahtera, orang yang merasa sejahtera akan menjalani hidup yang bermutu. “Jadi betul kan kalau kita dituntut bermutu harus diberi kesejahteraan lebih dahulu?” Jawabannya, Ya. Masalahnya adalah pada perbedaan pandangan akan konsep sejahtera. Sejahtera itu bisa dianggap abstrak tapi sekaligus juga sangat konkret. Kita ambil saja ukuran umum dan konkret. Sejahtera itu jika seorang guru di sekolah dasar di suatu sudut kota memiliki “harta” dua milyar rupiah. Adakah?

Ada, bahkan hampir semua guru memilikinya. Kita sering tidak menyadari bahwa kita membawa harta milyaran rupiah setiap hari yang tidak mudah dicuri orang. Kita memiliki dua mata yang tidak akan kita lepaskan meski ada yang menawar mata kita dengan harga 200juta, dua telinga, tangan, kaki, jantung, ginjal, paru-paru, dan semua anugrah Tuhan yang tak ternilai yang kita bawa setiap saat, yang jika dijumlahkan harganya jauh lebih dari dua milyar rupiah.

Intinya, kita sudah sejahtera. Kita tinggal menggunakan modal kesejahteraan anugrah Tuhan itu untuk menjadi mahluk yang bermutu. Jika kita tidak mau atau bisa bermutu, itu bukan karena kita belum sejahtera. Itu karena kita enggan dan malas menggunakan semua potensi kita. Bahasa yang lebih tegas, kita tidak bersyukur atas anugrah Tuhan kepada kita. Kita hidup seolah-olah kita tidak memiliki mata untuk melihat hamparan ilmu, kita tidak memiliki telinga untuk mendengar kebaikan dan kebenaran, kita tidak memiliki tangan untuk bekerja keras, kita tidak memiliki otak yang maha dahsyat.

Maka, bersyukurlah dengan cara bekerja keras dan bermutu. Niscaya Tuhan akan menambah nikmat dan anugrah-Nya. Orang bermutu akan dihargai masyarakat, dan kesejahteraan lain mengikutinya.

Mengenai Saya

Foto saya
Dosen tetap pada FKIP Universitas Bengkulu; konsultan pendidikan; pendiri the Education Development Center Indonesia; Pengelola Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bengkulu