Saya tidak tahu dasar rasional pembagian jurusan di SMA pada umumnya menjadi jurusan IPA, IPS, Bahasa. Saya mencoba meninjau kembali berdasarkan realitas yang ada sekarang dan azas kebermanfaatannya. Dasar pembagian jurusan seharusnya berdasarkan minat dan nilai pada mata pelajaran yang diminati. Misalnya seorang siswa berminat ke IPA, nilai Biologi dan Fisika 8 atau 9 sementara untuk mata pelajaran lainnya hanya 6, maka siswa tersebut boleh masuk kelas IPA. Kenyataan di lapangan tidak semacam ini. Yang terjadi adalah, lagi-lagi pada umumnya, siswa yang tergolong “pintar” (semua nilai mata pelajaran bagus) masuk IPA, yang “sedang” dan tahu diri masuk IPS, sisanya boleh masuk Bahasa.
Tanpa sadar ini merupakan praktik pendidikan diskriminatif, memisahkan anak pintar dengan yang kurang pintar. Hal ini dimulai dengan penentuan masuk sekolah dengan seleksi nilai yang juga diskriminatif. Hasilnya, ada sekolah (unggulan favorit) berisi anak-anak pintar dan seterusnya dan seterusnya, sisanya yang tergolong tidak diterima di sekolah favorit baik negri atau swasta akan masuk sekolah swasta yang berisi anak-anak yang dinilai kurang bagus. Dalam lingkup yang lebih luas, sekolah-sekolah di Indonesia akan mendapat situasi kelas yang kurang normal (berdasarkan kurva normal), artinya di satu kelas berisi anak pintar, anak sedang, dan anak kurang pintar. Akibatnya tidak ada pembelajaran antar-anak. Yang menyedihkan ada kelas (bahkan sekolah) yang berisi anak-anak kurang pintar semua. Jangan heran jika ada satu sekolah semuanya tidak lulus ujian nasional. Dengan demikian dapat juga dinyatakan bahwa tidak ada sekolah unggul, yang ada sekolah yang menampung anak-anak unggul, sekolahnya ya biasa saja, kemampuan gurunya juga standar, mungkin yang lebih cuma fasilitasnya. Ditambah lagi dengan mayoritas yang masuk sekolah “unggulan” juga dari keluarga menengah ke atas. Diskriminatif, pintar dan kaya mengelompok di satu sekolah, bodoh dan miskin mengelompok di satu sekolah.
Kembali ke penjurusan di SMA. Sekarang seleksi masuk ke perguruan tinggi tidak melihat asal jurusan calon mahasiswa. Dari jurusan apa saja boleh memilih jurusan apa saja, dengan satu syarat lulus sesuai standar yang ditetapkan di jurusan dan PTN yang dituju. Lalu untuk apa lagi penjurusan di SMA? Bukankah luluan SMA ditargetkan mampu meneruskan ke PT? Jika ya, penjurusan yang selama ini ada sekarang tidak berguna sama sekali malah menjadi “batu sandungan”. Mengapa? Apa jadinya jika anak dari jurusan bahasa memilih jurusan kedokteran atau teknik, dan lulus seleksi masuk? Yang bersangkutan akan kesulitan dalam menempuh studi karena bekal yang diterima selama di SMA sangat minim untuk mengikuti jurusan yang ditempuhnya. Hal yang mirip, anak IPS memilih arkeologi karena dianggap sama-sama jurusan IPS, benarkah? Dalam bidang arkeologi sangat erat dengan penggunaan bahan kimia, sementara selama sekolah tidak mendapat bekal pengetahuan dan praktik kimia. Intinya, penjurusan di SMA tidak ada manfaatnya sama sekali.
Bagaimana sebaiknya? Hapuskan penjurusan. Semua anak dari kelas 10 hingga kelas 12 mendapat bekal ilmu yang sama agar dapat menempuh studi di jurusan apa saja di PT. Yang perlu dibedakan mungkin hanya di semester akhir di kelas 12. Pada semester ini boleh disebut pra-universitas (persiapan menuju universitas) sebagaimana SMA di sebagian besar belahan dunia lainnya. Ada juga penjurusan di tingkat SLTA di beberapa negara, Jepang misalnya, namun tidak seperti di Indonesia. Semoga bermanfaat. (Agus Trianto)